Senin, 30 Maret 2015

Tentang Senja, Hujan dan Matahari



kita pernah menghabiskan sepotong sore disini, ingatkah?????


“Mungkin senja terlalu percaya diri bahwa hujan akan selalu datang ketika ia minta. Sepertinya senja sekarang harus bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mataharilah yang selalu setia datang menyapanya, tanpa ada kata terlambat sedikit pun.”


Berhari-hari dia hilang tanpa kabar. Semua pesan yang ku kirimkan tak lekas mendapatkan jawaban.
“Kamu lagi dimana?” Pesanku malam ini padanya, lagi. Perasaan harap-harap cemas menunggu balasan darinya lebih menegangkan daripada menunggu lamaran diterimanya pinangan dari seorang gadis. Mungkin aku tidak seharusnya mengkhawatirkannya, tetapi perasaan khawatir ini tiba-tiba datang dan membuatku gila untuk selalu mengecek HP, berharap pesan darinya segera tiba. Tiga puluh menit berlalu, dia tidak memberikan jawaban apa-apa.
“Kamu lagi dimana?? Sudah beberapa hari ini aku ke rumahmu, dan kamu selalu saja tidak ada.” Pesanku lagi. Rasa khawatir ini seperti menaiki kursi goyang, seperti telah bergerak lama tapi tak membuahkan hasil apa-apa, aku hanya diam ditempat yang sama, dalam kebimbangan yang sama. Tak berkesudahan. Aku teringat percakapan dengannya empat hari yang lalu di warung Mbak Nah langganan kita semenjak masa sekolah.
“Sepenyendiri-penyendirinya seseorang dia pasti butuh seseorang untuk ada disampingnya, untuk mendengarkan segala ceritanya, bukan?” Aku bisa merasakan bebannya yang memberat.
“Akan ada saat dimana mereka tak baik-baik saja, mereka butuh seseorang untuk menguatkannya. Seberapapun bahagianya dia menjalani hidup, dia tetap butuh seseorang untuk menemaninya. Karena begitulah hakikatnya manusia diciptakan, untuk hidup berpasang-pasangan.”
Uap kopi yang mengepul seolah diam sejenak, menikmati jeda yang tercipta antara kita berdua. Aku bisa melihat dia yang bukan dia. Seperti ada sosok lain yang menguasai tubuhnya. Ini aneh!!

“Terus??” Aku mencoba menanggapi ceritanya.
“Entahlah. Semacam ada perasaan rindu yang tiba-tiba datang.”
“Ah itu hanya perasaan melankolismu saja, makanya jangan terlalu banyak baca novel.” Aku mencoba mencairkan suasana, aku tidak ingin percakapan ini berakhir gantung, seperti percakapan-percakapan kita terdahulu. Aku tahu betapa tidak mudahnya dia bercerita hal terdalam darinya, bahkan dengan Ibunya yang melahirkan dan membesarkannya.
“Kamu pernah suka dengan seseorang??”
Deg, pertanyaan yang menghunus jantungku. Manusia normal pasti akan pernah merasakan rasa itu, dan aku masih normal.
“Kenapa?”
“Ndak ada, aku hanya ingin tahu bagaimana perspektif laki-laki jika jatuh cinta.”
Aku mendengarkan dengan patuh setiap kata yang keluar dari bibirnya, bahkan berkedip pun aku atur sedemikian rupa sehingga aku bisa benar-benar khusyuk mendengarkannya. Ah dia masih sama, selalu gila dan mendadak tak waras dengan perasaan itu. Aku teringat bagaimana gilanya dia ketika menyukai seorang kakak kelasnya dulu semasa SMA, dia rela naik ojek dari rumahnya kemudian berhenti di rumahku, lalu kita jalan bersama ke sekolah yang jaraknya bisa dibilang tidak dekat. Laki-laki yang disukainya itu adalah tetanggaku. Kita akan berpura-pura jalan bersama, mengikuti laki-laki itu dari belakang, seolah itu adalah ketidaksengajaan. Dia memaksaku untuk ‘sok dekat’ dengan laki-laki itu, dengan harapan dia bisa tahu segala hal tentangnya. “Aku tidak butuh banyak hal, cukup melihatnya di pagi hari, dan ketika malam aku akan senyum-senyum sendiri mengingat semuanya.” Ini kegilaannya yang pertama yang aku tahu.
“Jadi laki-laki mana yang telah membuatmu menjadi zombie seperti ini?”
“Hahaha.” Dia tergelak bebas.
Seperti biasa, sepintar apapun aku mengorek segala hal tentangnya dia tidak akan bercerita. Hanya hal absurd, aneh, yang membuat semua orang semakin bertanya-tanyalah yang akan dia ceritakan. Mungkin aku perlu belajar psikologi atau ilmu hypnotheraphy untuk bisa tahu hal ‘pribadi’ tentangnya itu.
***
“Temui aku di warung Mbak Nah.”
Setelah berhari-hari pesanku tanpa jawaban, dia akhirnya datang dengan pesan singkat seperti itu. Ada apa?? Dia baik-baik saja kan?? Aku lebih suka dia yang merepotkanku setiap detik dengan segala urusan remeh temeh yang tak jelas, daripada diam seperti ini. Aku seperti tak mengenalnya. Sungguh.
Warung Mbak Nah dan kantorku tak berjarak jauh, hanya sepelemparan batu. Dekat. Tidak butuh waktu lama untukku sampai disana. Seorang wanita dengan rambut ikat kuda duduk disalah satu pojok warung itu. Dihadapannya laptop menyala, dan segelas kopi susu  tergeletak sabar. Masih mengeluarkan uap panasnya. Dia asyik dengan aktifitasnya. Dia sibuk atau pura-pura sibuk. Entahlah. Sesekali dia memegang HP yang seharusnya sudah masuk ke dalam museum, memainkannya sebentar lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Bosan memainkan HP, laptop menjadi sasaran tangannya. Kemudian kopi yang mulai mendingin itu, diseruput dengan perlahan, sedikit demi sedikit.  
“Sudah lama??” Aku keluar dari persembunyianku. Tak sabar juga aku mengintainya diam-diam, seperti mangsa yang siap diburu.
“Kau tahu betapa mati gayanya aku menunggumu??” Dia mencibirkan bibirnya.
“Jadi dalam rangka apa kamu memintaku datang??”
“Jadi aku harus membuat sebuah perayaan spesial hanya untuk bertemu sahabatku???” Dia balik bertanya padaku.
“Tidak harus, tetapi aku masih bertanya-tanya, makhluk apa yang membuatmu menjadi mayat hidup seperti ini. Ibumu telah bercerita banyak tentangmu kemarin.”
Dia tergelak, lepas. Tawanya hampir merubuhkan warung Mbak Nah yang terbuat dari kayu ini. Semua mata menatap kita. Aku memandang mereka dengan tatapan “opps maaf.” Haish, anak ini, dia tidak pernah berubah! Masih suka membuatku malu mendadak seperti ini.
“Sepertinya kita harus pindah tempat, jangan disini, tawamu bisa menarik perhatian orang-orang.” Aku setengah berbisik kepadanya.
“Oke maaf, ini tawaku yang pertama dan terakhir hari ini, karena cerita yang akan aku ceritakan selanjutnya adalah cerita tanpa tawa. Hahaha.” Dia tertawa lagi. Dan aku mulai bingung.
Pengunjung warung Mbak Nah sudah mulai sepi, hanya ada satu, dua para pegawai kantoran yang masih makan siang sembari bercengkrama dengan pegawai lainnya. Kita sudah mulai masuk dalam pembicaraan serius. Kopi susu yang dipesannya tadi sisa setengah gelas. Dia mulai bercerita tentang senja, matahari dan hujan. Senja sangat menyukai rutinitasnya, datang dan pergi tepat pada waktunya. Senja menyukai takdirnya seperti itu. Senja suka ketika matahari datang menyapanya, kemudian mereka akan berkolaborasi membuat kehangatan yang romantis. Seperti hari sebelumnya, senja dan matahari selalu datang dengan warna kehangatannya. Senja selalu datang menggoda para pencinta di belahan bumi manapun untuk sekedar menghabiskan sepotong waktu dengannya di sore hari, sekedar menyeruput segelas kopi di hadapannya. Senja bahagia dengan kehangatan yang bisa diberikan kepada mereka. Hingga suatu ketika hujan datang menyapanya, pertama hanya malu-malu. Kehangatan dan kesejukan itu mulai lebur jadi satu. Senja mulai menikmati sapaan malu-malu hujan itu. Setiap hari senja selalu menunggu dengan sabar kedatangan hujan itu. Walau ia tahu ada banyak yang merutuk kedatangan hujan yang membuat kehangatan senja mulai membias. Tetapi senja suka. Ia menyukai kedatangan hujan disetiap sore itu. Hujan membawa satu warna baru dalam hidupnya yang begitu-begitu saja. Senja mulai harap-harap cemas akan kedatangan hujan, setiap saat dia menanti apakah hari ini hujan akan menyapanya atau tidak. Dan cemas senja mulai berubah menjadi ketakutan sekarang karena hujan tak pernah menyapanya lagi, bahkan melalui gerimisnya yang malu-malu. Senja mulai ketakutan. Mereka yang melihat senja tak lagi hangat juga mulai ketakutan. Takut senja yang akan berdiam dalam mendung yang menggantung, tak ada bias cerah senja seperti dulu. Senja mulai murung, tak ada lagi cahaya hangat yang menyapa sore itu, walau matahari selalu datang menyapanya tanpa lelah.
“Bagaimana akhir kisah senja itu??” Tanyaku penasaran.
“Mungkin senja terlalu percaya diri bahwa hujan akan selalu datang ketika ia minta. Sepertinya senja sekarang harus bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mataharilah yang selalu setia datang menyapanya, tanpa ada kata terlambat sedikit pun.”
“Senja tidak merutuk hujan??”
“Tidak, karena hujan pernah membuatnya menanti dan harap-harap cemas. Hujan pulalah yang membuat hidupnya kaya rasa.”
“Bagaimana dengan matahari?? ”
“Matahari dan senja mungkin paduan yang serasi, dia tak pernah lelah menghampiri walau ia tahu hujan juga menyapa senja di sore itu.”
Mata kita saling bersitatap. Memang seharusnya begitu, kenapa kau baru sadar sekarang?? Senyum itu mengembang. Aku suka.


Tamase, 28 Maret 2015

*Malam ini Tamase begitu indah, segala inspirasi dan kegundahan seperti melebur jadi satu. Aku menyukai hujan itu, sungguh, tetapi aku takut pada kenyataan bahwa semuanya hanya biasa-biasa saja.

2 komentar:

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^