Kamis, 14 Mei 2015

Cerita tentang Sebuah Rumah

I
Aku pernah berdiri di depan pintu sebuah rumah. Seperti ini. Aku hanya berdiri didepannya, melakukan hal-hal konyol dan berharap sang pemilik rumah mempersilahkanku masuk. Yah sekedar minum kopi atau menikmati sepotong roti malkis. Atau bercengkrama, untuk kemudian tersadar, pamit dan meninggalkan rumah itu. Sekarang, aku berdiri di depan pintu disebuah rumah (lagi). Tetapi rumah yang berbeda. Dengan pemilik yang berbeda pula. Rumah itu begitu indah. Segala kenyamanan bisa kurasakan walau hanya melihat rumah itu dari kejauhan. Setiap kali aku melakukan perjalanan, aku selalu menyempatkan diri untuk menoleh rumah itu. Mengucapkan selamat pagi, bertanya apa kabar atau hanya melewatinya begitu saja jika aku sedang terburu-buru. Sang pemilik rumah juga terlihat ramah. Sangat ramah. Aku jadi tidak canggung untuk berbicara dengannya. Seiring waktu yang terus berjalan, hari pun berganti dengan cepatnya. Aku semakin berharap bahwa itulah rumah tempatku pulang. Cukuplah bagiku untuk terus berjalan.
“Ini bukan perkara siapa yang menghentikan perjalanan ini terlebih dahulu lalu mempersilahkan masuk, bukan? Tapi soal keberanian memulai untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam.”
II
Mungkin ini adalah keputusan terberat untukku. Tanganku keringat dingin, badanku gemetaran. Aku tidak pernah melakukan hal segila ini seumur hidupku. Dan ketika aku memutuskan untuk ‘jujur’, itu adalah kegilaan terbesar yang pernah aku lakukan. Nafasku tak beraturan, jantungku seakan melonjak dari tempatnya semula. Keringat yang menderas mencetak jelas jari jemariku yang menggenggam kertas surat itu: erat. Secepat kilat aku meletakkan surat itu tepat di depan pintu rumah itu, lalu berlari dan tak menoleh lagi. Sejak aku memutuskan untuk menulis surat itu dan memberikan kepada sang pemilik rumah, sejak itu pulalah aku mempersiapkan diri dengan kelapangan yang sangat, dan tentu saja dengan tenaga ekstra untuk berjalan kembali menyusuri jalan yang tak mudah (sendiri). Sejak saat itu aku memutuskan untuk pergi, berjalan seperti biasa.
III
Aku kira dengan terus berjalan dan mengunjungi banyak rumah, ingatan tentang rumah itu bisa hilang. Ternyata tidak. Aku semakin ingin mengunjungi rumah itu. Hanya untuk melihat senyum yang mengembang di depan pintu itu, menyapaku lalu mengajakku bercakap-cakap. Ada banyak rumah yang aku datangi, tetapi tidak senyaman berada di rumah itu. Aku masih membanding-bandingkan rumah yang satu dengan yang lainnya dengan rumah itu. Beberapa hari ini aku kembali melewati rumah itu, berharap menemukan pemiliknya sedang menyiram bunga atau memangkas rumput liar yang menganggu tamannya. Tetapi tak kutemukan pemandangan itu. Sang pemilik seolah hilang ditelan bumi, tanpa kabar sedikitpun. Taman di depan rumah itu juga terlihat tak terurus. Rerumputan liar merusak pemandangannya. Aku tak tahu kebodohanku mengirim surat itu berbuah pahit. Aku merindukan sosok yang selalu duduk di depan rumah itu dengan secangkir kopi dan buku ditangannya, lalu menyapaku dengan senyum khasnya. Aku merindukan sosok yang tak pernah lelah mengajakku bercerita tentang banyak hal seolah persediaan katanya tak pernah habis. Aku merindukan sosok itu. Sungguh. Dia apa kabar?
IV
Tak apa bagiku jika ternyata rumah itu tidak bisa kutempati, tetapi bisakah kita seperti sebelumnya. Sekedar bercengkrama, menikmati secangkir kopi di taman depan rumah itu. Tak apa bagiku, walau hanya berdiri di depan pintu, asalkan aku bisa melihatnya tersenyum dan menjalani hari seperti biasanya. Itu sudah lebih dari cukup jadi alasanku berbahagia.
V
Aku masih berdiri di depan pintu rumah itu. Tanganku mengepal, bersiap untuk mengetuk pintu. Mulutku sudah menganga untuk mengucapkan salam. Tetapi otakku tiba-tiba menginstruksikan hal yang lain. Tangan yang tadinya ku kepalkan melemas, mulut kukatupkan. Ah sudahlah. Aku tak cukup berani untuk kembali mengetuk pintu itu (lagi). Kakiku mundur perlahan, aku melangkah pergi dan tak kembali. Selamat tinggal.
 “Pada akhirnya berjalan pergi itu menjadi satu-satunya pilihan, daripada menetap tetapi hidup dalam bimbang yang tak ada akhirnya.”

Sumbawa, 14 Mei 2015
Dalam Dekapan Malam

rumah ini
Percakapan lirih dengan sang Ibu:

“Ibu, saya boleh nangis?”

“Jangan!!! Sekali-kali kamu harus sombong dengan air mata.”

Air mata itupun keluar dengan sendirinya. Maaf Bu, untuk pertama kalinya aku menghianati kata-katamu.

PS:
Perjalanan ini akan membuatku baik-baik saja, kan??

3 komentar:

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^