Senin, 04 Mei 2015

Untuk Kamu yang Selalu Hadir dalam Setiap Doaku


dalam perjalanan itu, sesekali menghela nafas dan menatap pepohonan tinggu menjulang, ah damaaai
Dear, kamu....
Sebenarnya aku ingin menuliskan surat cinta untukmu. Menuliskannya dengan rapi diselembar kertas merah jambu. Tetapi aku rasa surat cinta terlalu lama sampai padamu. Terlebih lagi aku yang tak yakin akan keberanianku mengirimkannya. Ini hanyalah tulisan sederhana di rumahku. Rumah yang selama ini menjadi tempatku berkeluh kesah, berbagi banyak hal dan cerita. Jika kamu sempat berkunjung, anggap saja ini curhatan picisan dari seorang perempuan yang tak tahu harus berbuat apa.
Aku ingat kala pertama kita bertemu, dalam sebuah seminar di kampusku beberapa tahun yang lalu. Kamu menjadi pembicara waktu itu. Aku terhipnotis dengan segala kata-kata yang kamu sampaikan dalam seminar itu. Aku kagum pada pandangan pertama (terlalu kikuk jika dikatakan cinta). Sejak pertemuan pertama itu kita tak lagi bertemu. Kamu juga tak tahu siapa aku, aku juga tak banyak tahu tentang kamu. Pertemuan pertama yang hanya sepintas lalu. Tak ada kenangan yang begitu mendalam. Aku menjalani hariku seperti biasa. Kekaguman itu hanya sebatas pada kekaguman peserta seminar dengan pembicaranya, sama seperti di seminar-seminar yang lain.

“Aku berdoa, semoga bisa bertemu lagi dan mengenalmu lebih jauh.”

Setahun kemudian, pada tanggal yang masih jelas tercetak diingatanku. Kamu datang lagi, tetapi bukan dalam peran sebagai pembicara di seminar. Kamu datang dengan peranmu yang sebenarnya: penulis. Kita kemudian larut dalam diskusi yang panjang, bersama beberapa teman yang lainnya juga. Kamu banyak bercerita tentang sekolah-sekolah di desa terpencil  yang masih butuh perhatian pemerintah. Kau berbicara dengan semangat menggebu, berapi-api.  Dari pembicaraan pada pertemuan kedua itu, aku kembali menaruh kagum padamu: kapasitasnya lebih banyak dari yang pertama. Kamu memberitahu nomor HP-mu, sekedar basa basi pada kami jika ingin menghubungi atau sekedar diskusi tentang pendidikan. Dengan sigap aku menyimpannya di phonebook-ku. Siapa tahu nanti aku memerlukan nomor itu. Tidak hanya nomor HP, alamat sosial mediamu pun kamu beritahu. Kembali dengan malu-malu aku mengirimu pertemanan. Sejak saat itu, aku sering memperhatikanmu diam-diam melalui sosial media itu. Aku ingin tahu segala hal yang kamu lakukan. Mungkin kamu lupa hal detail seperti ini karena aku sama dengan orang yang kau temui, sepintas lalu dari banyak yang datang. Tapi aku tak akan lupa. Pertemuan pertama, kedua, bahkan gerak-gerik malu-maluku ketika mengintip sosial mediamu.  Semakin hari, kagumku semakin bertambah.


“Izinkan aku menjadi satu dari banyak pengagum rahasiamu.”

Setelah pertemuan kedua itu, kita tak pernah bertemu lagi. Tetapi aku tetap memperhatikanmu. Menengok apa yang kamu lakukan disana. Sembari berharap untuk kembali dipertemukan dalam cara yang indah. Yah sekedar berdiskusi lagi tentang pendidikan, atau tentang buku-bukumu yang jumlahnya begitu banyak. Hingga pada suatu ketika, perjalanan itu mempertemukan kita. Perjalanan itu menciptakan pertemuan ketiga, keempat, kelima, bahkan seterusnya. Aku dan kamu menjadi dekat.  Aku tak lagi sembunyi dalam malu yang diam. 
kita pernah menghabiskan sepotong sore disini, ingatkah??
Aku bukanlah seseorang yang mudah jatuh cinta pada seseorang. Tak mudah bagiku dekat dengan siapapun. Kata-kata Bapak untuk tak mempercayai laki-laki selain Bapak dan suamiku nanti membuatku sedikit berjarak dengan kaum yang bernama adam itu. Tetapi denganmu, aku percaya. Aku mempercayakan banyak perjalananku padaku. Aku percaya berjalan bersama, akan menyenangkan dan baik-baik saja. Mungkin bagimu ini adalah hal yang biasa. Sebiasa perasaan teman yang berjalan dengan teman lainnya. Tidak denganku. Setiap bertemu aku harus bersusah payah menahan degup jantungku yang tak henti-hentinya melompat, seolah keluar dari tempatnya semula. Aku harus bersusah payah, menyembunyikan tatapan kekagumanku. Aku harus bersusah payah untuk bertingkah semuanya biasa-biasa saja. Aku bersusah payah menyembunyikan perasaan ini, karena aku takut jika aroma cinta itu tercium olehmu, aku tak bisa lagi bertemu denganmu.

“Mencintaimu membuatku menjadi detektif handal. Seolah tahu bagaimana tentangmu. menebak-nebak apa yang kau suka dan tidak suka. Mencoba menyatukan banyak kepingan kisah untuk membentuk suatu cerita indah sesuai analisa sang detektif.”

Pernah suatu ketika kita melakukan perjalanan berdua ke suatu tempat.  Itu adalah Perjalanan tersulit yang pernah aku lalui. Tetapi tak ada satu pun rasa takutku. Karena aku percaya, denganmu perjalanan sesulit apapun bisa terlewati. Kamu terluka waktu itu, ingin rasanya aku mengoleskan obat luka dikakimu, atau sekedar memijatmu untuk memulihkan tenaga yang terkuras habis karena perjalanan melelahkan ini. Tapi aku tak bisa apa-apa, aku hanya terdiam menatapmu yang meringis kesakitan. Kamu mungkin tak pernah sadar betapa aku mengkhawatirkanmu. Kebiasaanmu tidur larut malam, dan meminum kopi terlalu banyak membuatku takut akan kesehatanmu. Rasa khawatirku kembali bertambah ketika aku tahu, kau pemakan segala, suka memakan makanan apa saja. Bagaimana jika kamu sakit karena makanan yang kau makan itu tak sehat?? Ada banyak rasa khawatir yang kusimpan diam-diam, sambil merapal doa kepada Sang Pemilik Segala untuk menjagamu, agar kamu baik-baik saja, sehat dan selalu menjadi menyenangkan.

“Mungkin memang benar, cinta tak bisa memandang kepintaran seseorang. Aku bisa dengan hebatnya berdiskusi dengan teman-teman, dan mendadak kehilangan kata jika berbicara denganmu. Cinta bisa membuat orang jadi segila ini.”
Setiap malam, dalam akhir rutinitas panjangku seharian berjibaku dengan tugas kantor, aku sering memikirkanmu dengan segudang pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu. Kamu apa kabar? Sudah makan? Bagaimana harimu? Atau pertanyaan lebih dalam seperti adakah aku di satu sudut hatimu?? Tapi semua itu kusimpan dalam-dalam, sambil mencari tahu bagaimana kabarmu dengan menengok sosial mediamu seperti kebiasaanku dulu (hingga saat ini). Ada rasa tak suka ketika kamu asyik membalas komentar dengan seseorang. Kadang aku menangis, kadang aku tertawa, kadang aku senyum-senyum sendiri, kadang aku terdiam dalam bimbang yang aku ciptakan sendiri. Semua rasa itu keluar begitu saja, seperti hujan yang tak bisa dihentikan.
menuliskanmu, disetiap perjalanan itu...

“Terimakasih karena telah memberikanku rasa itu.”

Mereka mengatakan aku sudah gila. Ya benar. Aku sudah gila sejak aku tahu bahwa aku menyukaimu. Sejak aku memendam rasa ini. Tetapi ini gila yang wajib aku syukuri, setidaknya aku menjadi tahu bahwa aku bukanlah robot yang tak punya hati, tak punya galau memendam rasa yang membuatku berharap-harap cemas setiap waktu.
Kamu seseorang yang membuatku percaya bahwa tak ada jalan yang tak bisa dilewati selagi jalan itu masih ada. Kamu seseorang yang membuatku terpaku menatap satu pintu yang sama, berharap suatu saat pintu itu terbuka dan membiarkanku masuk ke dalamnya dan menyembuhkan setiap luka yang ada. Kamu seseorang yang tak akan pernah kusesali kedatangannya, karena kamu yang telah membuatku larut dalam pengharapan, dalam doa-doa yang tersampaikan lirih di ujung malamku. Kamu yang membuatku terus berharap agar penantian itu menjadi “kita.” Kamu juga yang membuatku tersadar jika tak ada pangeran berkuda putih yang setia membawakanmu bunga disetiap waktu ketika kau minta. Pernah ada suatu waktu dimana aku malu-malu bermimpi untuk menikmati hari-hari bersamamu, dimana aku memasakkan makanan kesukaanmu, aku yang dengan setia menunggumu pulang kerja. Aku yang menyibukkan waktu menantimu dengan merajut baju-baju bayi yang lucu. Tapi akhirnya aku mulai pasrah pada pengharapan kepada Sang Pemilik Segala dalam rapal doa yang tak hentinya kusampaikan. Aku tak ingin lebih, melihatmu disepanjang hari dan mengusap peluh-peluh yang mengaliri wajahmu karena sibuk bekerja seharian. 
apakah itu badai, ombak tenang, atau apapun, jika bersamamu aku tenang...
"Aku masih percaya pada satu bahwa jatuh cinta ini, bukan seperti kisah di negeri dongeng, yang akan berakhir bahagia ketika pangeran melamar sang putri. Jatuh cinta ini adalah perjalanan panjang dengan akhir yang masih rahasia."
Matahari masih sama, terbit di ufuk timur dan senja juga  masih memancarkan warna hangatnya yang menggoda. Pelangi masih tinggi dan menarik untuk bisa didaki, disentuh dan dicicipi seperti mengecap gula-gula yang manis. Tetapi hatiku yang tidak pernah sama, masih jumpalitan, jatuh jungkir balik, salto. Pernah ada masa dimana aku begitu jatuh cinta yang membuat hatiku tak henti-hentinya bergejolak, bak gendang yang ditabuh setiap saat. Pernah ada masa dimana aku menyerah: sudahlah cukup. Tetapi kamu selalu pintar membuatku jatuh cinta berkali-kali, walau kemenyerahan itu sempat meringkusku.
Terimakasih telah hadir mengisi hari-hariku yang datar, begitu-begitu saja. Terimakasih atas segala rasa yang pernah tercipta. Terimakasih untuk pelajaran-pelajaran berharga itu. Sekarang izinkan aku pergi, bukan untuk meninggalkanmu tetapi untuk belajar berdamai dengan hatiku, untuk sebuah keihlasan yang purna. Bahkan seorang Ibu yang melahirkan pun harus rela mengikhlaskan kepergian sang anak jika itu memang waktunya, apalagi aku yang bukan siapa-siapa untukmu: kata seorang teman yang membuatku tersadar bahwa cinta terkadang satu paket dengan keikhlasan.
Jika nanti kau telah lelah berjalan dan tak menemukan apa yang kau cari, aku masih menyediakan sebuah istana indah untuk kau masuki. Aku masih ada disana, masih diam dalam rapal doa yang sama: kamu. 
"Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu" Tulus-Sepatu


Dari seseorang yang selalu menyebutmu dalam setiap pengharapannya
Sumbawa dalam dekapan malam
4 Mei 2015

PS:
"Jika kamu tidak dipertemukan dengan seseorang yang kau sebut dalam setiap doamu, 
mungkin kamu akan dipertemukan dengan seseorang yang selalu menyebutmu dalam setiap doanya."

7 komentar:

  1. aihh....manis banget kata2nya,suka banget sama pesan di endingnya^^

    BalasHapus
  2. Pasti ada seseorang yang menybut nama kita di tiap doanya ya :) Sweet banget sih tulisannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, pasti....
      semoga segera dipertemukan dengan seseorang itu..
      :D

      Hapus
  3. Kok aku merasa tersinggung sama tulisan ini....Oooo ternyata dia itu Aku,,,hmmm kapan ya saya jadi pembicara seminar.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha....
      jangan cemburu bang, eh jangan2 bang Moerad lagi yang selalu menyebut nama saya dalam doa.. :p
      kapan ayo jadi pembicara seminar, biar ada yang begal hati saya :D

      Hapus
  4. cepet-cepet di pertemukan dengan sesorangnya :)

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^