Jumat, 24 September 2010

cerpen masa SMA (jgn diketawakan ^_^ V)

LALA KANTARI

Kini Rahman bisa bernapas sedikit lega. Kantari dapat tertidur walau sesaat, beristirahat dari kepeningan yang menggerogoti otaknya. Rahman sangat mencintai Kantari sampai ia nekat membawanya lari dari rumah yang memenjarakannya. Jika tidak begini jelas kantari akan benar–benar gila. Bahkan untuk selamanya. Rahman menatap keluar jendela bus yang akan melaju meninggalkan tana sabalong samalewa ini.
Ia menyaksikan hujan yang tiada hentinya mengiringi kepergiannya. Ia berharap hujan kali ini segera menipis menjadi hujan beranak botek yang jatuh perlahan tetapi masih ada mentari yang bersinar. Sudah beberapa hari ini ia dan Kantari luntang-lantung di jalan hingga terpikir olehnya untuk pergi dari tanah kelahirannya ini. Daripada harus terus main kucing–kucingan dengan Datu Ayub yang tidak lain adalah Bapak Kantari, jelasnya Lala Kantari. Lala adalah titel yang diberikan untuk gadis bangsawan, sama dengan Baiq pada suku sasak. Lala Kantari artinya gadis yang dinanti-nanti.
Tetapi kenyataan jauh dari yang diharapkan, hujan bukannya mereda malah bertambah besar. Hingga menghalangi pandangan. Demi pertimbangan menjaga keselamatan para penumpang pak sopir berhenti sejenak menunggu hujan sedikit reda, Kantari masih tertidur disamping Rahman, matanya sembab. Masih terlihat jelas bekas linangan air mata dipipinya. Pakaian yang dia kenakan pun sudah tidak layak pakai untuk ukuran anak bangsawan sepertinya. Keluarga Kantari adalah keturunan salah satu Sultan (baca; raja) yang berkuasa di Sumbawa dulu. Mereka termasuk kedalam golongan bangsawan yang taat, seolah melanggar satu peraturan saja bisa membuatnya mati. Sejak kecil Kantari disibukkan oleh peraturan yang mengekangnya dari pergaulan di masyarakat. Datu Ayub melarang keras Kantari bergaul dengan orang – orang luar yang statusnya jauh dibawahnya. Prinsipnya kalangan bangsawan bergaul dengan bangsawan pula. Dan itu telah menjadi aturan baku yang tak ubahnya bagai rumus matematika, Kantari hanya boleh bergaul dengan orang luar yang bekerja sebagai ulin dirumahnya. Tidak lebih. Semenjak bayi Kantari diasuh oleh pengasuhnya yang merupakan bibi dari Rahman. pengasuhnya inilah yang bertugas mengurusi seluruh keperluan Kantari. Hingga menyiapi air untuk mandi yang seyogyanya harus ia siapkan sendiri. Kantari bukannya seorang yang manja tapi itulah yang seharusnya. Ibarat Kantari seorang anak artis, pengasuhnya inilah manager-nya. Dan Kantari juga bukan seorang piatu. Dia memiliki Ibu tetapi Ibunya memiliki tugas yang lain, takdirnya sebagai anak bangsawan membuat batinnya tersiksa. Sungguh.
Kantari datang menghampiri Bapaknya yang sedang duduk di bawah pohon. Dia membawakan secangkir kopi dan kue mangkuk yang ia siapkan didalam piring. Dia gulungkan tembakau dengan bungkus daun lontar. Dia letakkan rokok yang baru saja digulungkan didekat cangkir kopi, Bapaknya menerimanya dengan senang.

‘’Bapak’’, panggil Kantari.
‘’Ada apa anakku ?’’ jawab Bapaknya sambil mengunyah kue mangkuk itu.
‘’Ehm, begini Bapak. Saya ingin pergi ke acara ponan bersama Ina’, boleh pak ?’’
‘’Tidak. Kamu masuk saja ke kamarmu menenun!!’’
Kantari kecewa mendengar ucapan Bapaknya itu. Dia berlari meninggalkan Bapaknya sendiri sembari menangis tertahan. Rahman yang bekerja sambilan sebagai pengurus ternak di rumah Kantari tidak bisa berbuat apa–apa untuk membantunya. Dia hanya bisa menghibur Kantari dengan tiupan serune-nya. Jika mendengarnya jelas Kantari akan ketawa, karena tiupan serune Rahman amat sangat tidak merdu. Memekik telinga yang mendengar. Tak pelak suara serune-nya juga sering memicu pitam Datu Ayub naik. Sekaligus membuat Kantari tertawa lepas melupakan kesedihannya walau sejenak.
Kantari tak ubahnya bagai putri kerajaan Sumbawa zaman dahulu kala yang selalu menghabiskan sebagian waktunya diatas alang untuk menenun. Suara kayu yang menyentak kayu yang lain saat menenun benar–benar merdu. Sangat menyentuh hati. Jika sudah seperti itu Rahman bisa betah mencuri–curi waktu kerjanya untuk tidur diatas pantar dibawah tebongan rumah Kantari. Sungguh nikmat memang tidur dibuai angin sepoi sembari mendengar suara menenun sang pujaan hati. Rahman tahu bahkan amat sangat tahu. Tidaklah pantas bagi ulin sepertinya menyukai anak gadis majikannya sendiri. Rahman bisa langsung menebak apa yang akan terjadi jika Ibunya sampai tahu bahwa dia diam–diam menaruh hati pada Kantari. Jelas, tamparan yang sangat pedas akan mendarat dipipinya.
Kadang Rahman berpikir dizaman seperti ini masih saja ada orang yang mau mengikuti adat dan peraturan yang jelas bertentangan dengan era ini. Era serba bebas, liberal, seorang anak berhak menentukan apapun yang menjadi jalan hidupnya tanpa ada campur tangan dari orang lain, bahkan orang tuanya sendiri. Tapi hal tersebut tidak sejalan dengan dengan prinsip Datu Ayub, selama anaknya belum menjadi milik orang lain. Dia berhak penuh atasnya. Oleh Datu Ayub, Kantari tidak diperbolehkan bersekolah layaknya anak pada umumnya. Guru privat khusus didatangkan untuknya, ia rela mengeluarkan uang seberapapun besarnya asal Kantari tidak bergaul dengan mereka. Dia takut pikiran anaknya akan terkontaminasi oleh pikiran anak – anak luar, yang menurutnya tidak beretika, yang dapat membuat anaknya membangkang kepadanya. Diskriminasi seperti inilah yang seharusnya dihilangkan, kadang Rahman juga bersyukur atas statusnya sebagai ulin disana yang membuatnya semakin dekat dengan Kantari. Pengasuh Kantari tahu persis isi hati Kantari, anak asuhannya itu. Tatapan Kantari dengan Rahman sangat berbeda tidak seperti tatapan majikannya kepada pembantunya.


Setelah hujan sedikit mereda, bus ini kembali melaju dengan kecepatan yang sedang –sedang saja. Rahman memperbaiki letak tidur Kantari yang bersandar dikursi bus, dia merelakan jaket yang ia kenakan untuk menghangatkan tubuh Kantari dari serangan dingin angin luar yang menerobos masuk melalui dinding bus yang sudah keropos. Walaupun kini gilirannya yang mengigil kedinginan, tak apalah yang penting gadisnya terlindungi. Bus ini melewati Bandara Brang Biji, ia melihat sebuah garuda beristirahat dilapangan itu menunggu sentuhan pilot untuk menerbangkannya kembali. Rahman ingat dia pernah menaiki garuda itu sepulangnya merantau dari Jakarta.
Setamat SMA, tepatnya agustus 1983 Rahman pergi merantau ke ibukota diajak pamannya Haji Zakaria, tapi ia lebih familiar dengan panggilannya Haji Jake’. Yah, maklum saja orang Sumbawa, tidak pernah benar memanggil nama orang. Sebenarnya ia sangat berat meninggalkan kota ini, tapi apa boleh buat tak mungkin baginya untuk terus menjadi ulin disini. Dia juga ingin memperbaiki hidupnya, memanjakan ibunya dihari tuanya nanti, sebuah keharusan juga anak laki–laki pergi merantau. Rahman bekerja diperusahaan tekstil ‘’Jaya Abadi’’ milik Pamannya. Di awal – awal harinya Rahman bekerja sebagai buruh pabrik, tapi sedikit demi sedikit ia merangkak hingga dipercaya menjadi Marketing Manager. Jabatan inilah yang membuat kantongnya disesaki rupiah, sekaligus memeningkan otaknya dari trik–trik yang agar perusahaannya tetap dilirik pembeli.
Tujuh tahun mengais rejeki di jakarta membuatnya terserang penyakit malarindu tropikangen yang amat sangat kronis. Ia memang sering mengirim surat hanya sekedar memberi tahu bahwa dia baik – baik saja dirantau. Tapi sekian banyak surat yang dikirim tak satupun ada yang terbalas tak apalah yang penting ia telah mengabarinya. Ia tidak ingin menjadi tersangka anak durhaka oleh ibunya. Pernah terlintas dibenaknya untuk menelpon ibunya, tapi harapan itu segera sirna mengingat telepon masih menjadi mitos dikampungnya. Kalaupun ada juga ia tidak mengetahui nomornya.

Pada tanggal 20 Maret 1990, Rahman cuti kerja. Ia sudah tidak dapat membendung rasa rindunya. Ia juga berencana untuk melamar Kantari. Ia yakin Datu Ayub akan menerimanya mengingat statusnya yang bukan ulin lagi. Jika uang yang dia inginkan ia siap memberinya berapapun jumlahnya. Ia bukan orang miskin lagi, dia kaya. Uang receh yang setia bersembunyi dikantongnya dulu kini menari–nari dengan riang di kaleng–kaleng para pengamen.

Udara segar pegunungan langsung menyergapnya, ketika menginjakkan kaki dikampung halamannya. Sejauh matanya memandang terjadi banyak perubahan disini. Terutama pada bangunannya yang beralih dari rumah panggung ke rumah batu. Kampung itu tampak sepi, juga rumahnya. Tidak terlihat anak–anak kecil yang biasa bermain kelereng dihalaman rumahnya yang luas.

Rahman menaiki tangga rumahnya, suara sepatu yang bergesekkan dengan kayu menimbulkan irama yang teratur. Dia sedikit kerepotan membawa barang bawaanya yang banyak keatas. Ibunya yang berada di dapur melongokkan kepalanya keluar, lama Ibu dan anak itu saling menatap, seolah tidak saling kenal.
‘’Sai kau ? (siapa kamu)’’ Tanya ibunya dengan menggunakan bahasa samawa.

Rahman kaget mendengar pertanyaan itu, biasanya Ibunya langsung memeluknya. Tapi sekarang, dia menanyakan nama anaknya sendiri. Apakah dia tidak mengenali anak yang dikandungnya selama 9 bulan. Yang biasa dia marahi jika Rahman ketahuan mencuri di kebun Ua’ Ali. Rahman semata wayang tidak mungkin dia lupa. Rahman juga tidak pernah membuat ibunya murka dan berniat untuk melupakannya. Tapi saat ini dia benar–benar lupa. Baru kali ini ada ibu yang durhaka kepada anaknya sendiri. Apakah ini memang penyakit tua? yang sering disebut orang, pikun.

‘’Kaji Rahman Ina’ e (saya Rahman ibu e)’’ Ibunya memperhatikan Rahman dari dari atas sampai bawah membolak – balikan badan Rahman anaknya.
‘’Kau Rahman, anakku ?’’ tanyanya lagi.
‘’ao Ina’ e (iya ibu)’’ setelah yakin itu Rahman, Ibunya langsung memeluknya, sambil menangis terisak. Rahman membalas pelukkan itu. Pelukkan yang dirindu – rindukan. “Kuda making gera’ kau ta (kenapa kamu makin gagah sekarang)’’
‘’Bejelas mo gera’ leng jarang tu les bau rebu (Terang saja aku ganteng, karena jarang merumput)’’

Keduanya tertawa terbahak–bahak, Rahman mengeluarkan semua isi kopernya yang keseluruhannya adalah oleh–oleh untuk Ibu dan keluarganya. Dia membelikan Ibunya batik pekalongan. Ibunya dengan muka memerah mengepaskan batik itu dengan warna kulitnya. Mengukur panjangnya lalu melipatnya kembali. No to rasa ate ta, kata orang Sumbawa. Rahman meninggalkan Ibunya sendirian di ruang tamu. Rahman memerhatikan keadaan rumahnya. Masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkannya.

Hanya ada beberapa perabot yang dipindahkan. Rahman mengempaskan tubuhnya ke kasur. Jika kepalanya bertemu bantal jangan harap ia sadarkan diri lagi. Apalagi dalam keadaan lelah seperti itu, tidurnya akan disertai dengkuran yang hebat.

Langit malam diatas samawa amat pekat. Bintang–bintang tertutupi awan hitam, Rahman duduk–duduk diberanda rumahnya. Dulu dia biasa duduk disini bersama teman –temannya sambil meniupkan serune-nya hingga semua teman-temannya terkekeh– kekeh mendengarnya. Walaupun telah dihina beribu kali Rahman tetap saja meniupkannya, tak tau kenapa.

‘’E Man, kau ta tiup serune yam tiup terompet, kuda enda maras-maras (e Man, kamu tiup serune kayak tiup terompet, kok tidak ada bagus-bagusnya)” kata temannya.
‘’Aida, coba mu belajar ke Ua’ Ali, uih yakin aku rua ba mu dadi peniup serune ade paling hebat pang samawa ta (Iya, coba kamu belajar sama ua’ Ali..uih…aku yakin kamu seakan menjadi peniup serune terhebat sejagat raya sumbawa)’’ timpal yang lain.
‘’Aina, ya mu suruh ku mate ke? Apa roa ku soro pelam (aina, kamu suruh aku mati? aku kan sering curi mangganya)’’ jawab Rahman. Sebenarnya Rahman tidak bermaksud untuk mencuri mangganya tapi dia ingin mengintip Kantari menenun diatas alang dan kebetulan kebunya Ua’ Ali bersebelahan dengan rumah Kantari, maka ia dengan gampang mengintip Kantari. Tapi tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya bisa–bisa dia langsung ditertawakan dan dibunuh ibunya. Sekarang kampung ini sepi, teman – temannya banyak yang menjadi TKI ke luar negeri. Bagi mereka kerja di luar negeri lebih menjanjikan daripada mengurus sawah sendiri.

Di luar hujan turun tidak begitu deras, tetapi angin membuatnya terlihat deras. Ibunya datang membawakan singkong rebus dan kopi hangat, kemudian ibunya duduk disampingnya. Rahman meneguk kopinya.

‘’Rahman apakah kau sudah menemukan gadis disana’’ Tanya ibunya. Rahman tersendak kaget dia memandangi ibunya.
‘’Buat apa cari jauh – jauh disini juga banyak’’
‘’siapa man?’’
Rahman terdiam. Dia mengatur nafas untuk menghilangkan ketegangannya.
‘’Lala Kantari’’
Ibunya berdelik tajam menatapnya.
‘’Kenapa harus dia, Man?’’
‘’O Ina’, ke nya bae ateku ta, nawar ya ku lalo bakatoan. Na hawater, peno pipis ku to, jadi enda alasan Datu Ayub tolakku (Ibu, hanya kepada dia hatiku tertuju dan aku akan melamarnya besok. Ibu tidak usah khawatir, aku punya uang aku bukan ulin. Tidak ada alas an bagi Datu Ayub untuk menolakku).”
‘’Tapi di gi…..!ah….sudahlah’’
Wanita tua itu meninggalkan Rahman sendiri. Dia melangkahkan kaki dilantai papan yang berderak – derak. Rahman tidak berusaha untuk menyusul Ibunya. Dia diam saja pada posisi semula. Dia tahu akan terjadi adu argumen yang hebat jika ia berusaha menyusul dan melanjutkan menyampaikan niatnya itu lagi. Sejenak kemudian dia mendengar suara teriakan. Tidak begitu jelas. Samar.
‘’Bapak keluarkan aku, gelap, aku takut !!!
Rahman terkejut. Dia mengenali suara itu sangat kenal. Yah…itu suara Kantari.
‘’Ina’ Tulong kaji ! ina…! (Ibu tolong saya, ibu)’’
‘’Ina aku tidak gila ! Bapak aku tidak suka laki–laki itu. Bapak’’
‘’Bapak… seles aku (Bapak keluarkan aku)’’

Rahman berlari keluar rumah. Dia tahu diluar hujan tapi ia nekat menerobos kerumunan butiran–butiran air itu. Ia tidak bisa berdiam diri sementara Kantari berteriak minta tolong. Persetan dengan hujan, saking tergesa–gesanya Rahman tidak melihat kubangan air didepannya. Dan…..bruk. Dia terpeleset, dia mencoba bangun tapi tenaganya hilang seakan tersedot lumpur itu.
‘’Rahman, apa boatmu pang nan (Rahman apa kerja kau di situ !)’’ Rahman menoleh sekelilingnya mencari sumber suara itu. Ternyata seorang wanita tua dengan payung di tangan kirinyalah yang mempunyai suara itu.
‘’Begini ya!!! Kelakuan orang Jakarta suka bermain lumpur’’ Rahman tertawa mendengar kelakarnya. Rahman menatap lekat–lekat wanita itu. Kini ia ingat itu bibinya. Pengasuh yang merawat Kantari, wanita itu menjulurkan tangan kanannya untuk membantu Rahman bangkit. Rahman menerima uluran itu. Dia mengibas–ngibaskan pakaiannya guna membersihkan kotoran. Tapi itu sia–sia saja, lumpur sialan itu telah melekat erat dipakaiannya.
‘’Rahman to mo lalo ko bale (Rahman ayo kerumah?)’’ ajak wanita itu.
‘’Tapi lesek lamongku, ke…(tapi bajuku kotor dan….)’’
‘’Nosi kuda–kuda, endi ganti pang bale (tidak apa-apa nanti ganti dirumah)’’
‘’Tapi Bi, sate ku lalo ko bale Datu (tapi Bi, aku mau kerumah datu)’’
‘’Untuk apa rahman! Sudahlah kamu ke rumahku saja, Ua’ pasti senang menerima kedatanganmu’’
‘’Kenapa semua orang menentang keinginanku.’’ Teriak Rahman.
‘’Bukan begitu!!’’ balasnya dengan suara yang tertahan, dan meninggalkan Rahman. Rahman berlari menyusul Bibinya itu. Tidak ada pilihan lain dia harus kerumah Bibinya dan bertanya perihal Kantari. Sesampainya disana Rahman mandi membersihkan semua kotoran yang melekat ditubuhnya. Bibinya datang membawakan dua cangkir kopi hangat untuknya dan Pamannya. Bibinya terlihat gelisah, sebentar – bentar dia memperbaiki posisi duduknya seperti ada paku yang menusuk pantatnya.
‘’Kuda, Bi (kenapa, Bi?)’’
‘’Nosi kuda-kuda, Rahman, sebenar ne bulan februari ten dunung kam nikah Kantari ke selaki ade ya pilih leng Bapak na (tidak apa–apa, Rahman, sebenarnya bulan Februari yang lalu Kantari telah menikah dengan pria pilihan bapaknya)’’
Batin Rahman bergerumuh mendengar pengakuan itu, dia tertunduk lesu.
‘’Tapi Rahman, sebelum akad nikah Kantari kabur’’
Rahman mengangkat kepalanya.
‘’Terus’’
‘’Pernikahan itu gagal dilangsungkan, semua panik mencari Kantari, pada malam harinya Kantari ditemukan bersembunyi di reban Ua’ Jake’’
‘’Apa Kantari dipukuli Datu Ayub’’ elidik Rahman penasaran.
‘’Tidak, tetapi dia mengurung Kantari di dalam gudang samping rumah. Dia menganggap Kantari gila, hanya orang gila yang melakukan hal bodoh seperti itu katanya. Tapi Rahman Kantari tidak gila, dia berteriak–teriak minta tolong karena takut gelap.’’
‘’Pantas tadi saya mendengar Kantari berteriak – teriak minta dikeluarkan’’
‘’Itu biasa terjadi, semua orang dikampung ini telah mnganggap Kantari gila. Tapi dia tidak gila, dia stres, Bibi tahu, dia mengharapkan kamu datang.’’
Rahman mengangguk patuh. Malam ini dia menginap di rumah Bibinya. Semalam dia memikirkan strategi yang akan dia lancarkan besok. Pertama, melamar Kantari, jika ditolak dia akan melancarkan strategi kedua, yaitu menculik Kantari.


Ibu dan bibinya ada di ambang pintu, Rahman bahagia ibunya merestui dia dan Kantari. Dipandangi kertas yang ada ditangannya, kertas itu pemberian Datu Ayub yang ia berikan tadi pagi sewaktu melamar Kantari. Kertas tersebut berisikan penolakan lamarannya ‘’Sempet Jangan Ola Bodok’’ (mengirimkan ikan pada kucing) itulah kata-kata yang dituangkan dua di kertas itu. Dia tidak memercayai Rahman untuk menjadi suami Kantari.
Rahman melambaikan tangannya kearah ibu dan bibinya itu, dia berlari masuk ke dalam gelap malam. Dingin malam menusuk sum–sum tulangnya. Dia mengendap–endap masuk ke halaman rumah Kantari. Dengan mudah ia membukakan pintu gudang untuk mengeluarkan Kantari. Seperti yang telah ia rencanakan jika strategi satu gagal dia akan melancarklan strategi yang kedua. Dan sekarang ia tengah menjalankan misinya yang kedua. Rahman membawa Kantari lari. Datu Ayub yang mengetahui hal tersebut marah besar. Dia mengerahkan seluruh daya dan upayanya untuk mencari Rahman dan Kantari. Tapi semuanya sia – sia. Rahman terlalu jeli bersembunyi.


Kantari terbangun, dia bahagia bersama Rahman sekarang. Melalui tape yang ada di bus lagu – lagu Sumbawa dengan setia mengalun. Rahman terbuai olehnya. Baru kali ini ia mendengarnya lagi. Jangankan Rahman, pak supir yang sedang menjalankan kemudi pun terlena dibuai olehnya. Hingga truk yang sedang melintas di hadapannya tidak dilihat. Akibatnya bus oleng ke kanan, bus ini kehilangan keseimbangan. Semua penumpang menjerit histeris, tidak terkecuali Rahman dan Kantari. Dia memeluk Kantari untuk menenangkannya. Takdir berkata lain. Bus ini benar–benar telah kehilangan keseimbangan. Dan bus tergelincir kedalam jurang

≈  ≈
Kepada pemeluk setia arti bangsawan

LuLu W.S
Maret, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^