Rabu, 15 April 2015

Basiru: Wujud Tolong Menolong Masyarakat Sumbawa

suasana di persawahan Batu Alang

Matahari sedang cerah-cerahnya. Awan juga terlukis indah dengan paduan biru langit yang menggoda. Sempurna sebagai padanan foto landscape hari ini. Saya memacu motor dengan kecepatan biasa-biasa saja sembari menengok kiri dan kanan, siapa tahu ada pemandangan yang asyik untuk diabadikan. Beberapa orang ibu-ibu terlihat berjalan beriringan. Ada yang memanggul bakul dengan isian yang terlihat penuh dari luar. Ada juga yang menggunakan topi caping khas petani dengan kerucut diatasnya. Mereka terlihat sibuk membawa barang bawaannya masing-masing, ditambah lagi dengan kerepotan mengurus anak-anak kecil mereka yang mengekor dibelakang. Satu yang menjadi kesamaan ibu-ibu tersebut yaitu seme’ yang melekat erat diwajah mereka. Seme’ dengan warna kuning pekat yang mentereng.  Seme’ adalah lulur tradisional khas Sumbawa. Para petani khususnya kaum perempuan selalu menggunakan seme’ jika turun ke sawah, itu bertujuan untuk menjaga kulit wajah dari paparan sinar matahari langsung.
Pemandangan itu membuat saya menghentikan laju motor saya.

Petani yang sedang turun sawah

Melako sia Ibu (mau kemana bu)???” Tanya saya dalam Bahasa Sumbawa.
“Lalo ko uma, anak. (pergi ke sawah, anak)” Ibu berbaju kuning menjawab pertanyaan saya.
“Bau si saya nuret ke??? (saya boleh ikut??)” Saya berbasa basi serius, tak lupa senyum mengembang di wajah saya. Saya suka dengan kehidupan desa seperti itu.
“Owe apa po anak dadara nuret kita ko uma (untuk apa anak gadis ikut kita ke sawah)”
Mereka segan mengiyakan permintaan saya, karena penampilan saya yang begitu rapi dengan batik dan sepatu pantopel karena tujuan saya sebenarnya hendak ke kampus hari ini. Tak biasanya saja ada anak gadis seusia saya yang notabenenya bukan petani seperti mereka mau ikut ke sawah yang tentunya akan berbecek-becek dengan lumpur.
“Ndak apa-apa si Bu.” Saya mencoba meyakinkan mereka. Akan sangat menyenangkan jika bisa mengenal lebih dekat kehidupan para petani. Setidaknya saya bisa belajar ilmu-ilmu baru yang belum saya ketahui.
“Be to mo amen mu roa si (ayok dah kalau mau si)”
suasana kerja para petani di persawahan Batu Alang
merapikan bineng
Yeyyy asyik. Mereka akhirnya mengiyakan keinginan saya. Motor saya parkirkan tidak jauh dari sawah yang akan mereka tuju. Kebetulan deerah ini masih kawasan Batu Alang, tempat kampus saya berada. Hari ini mereka akan mencabut bineng padi. Bineng ini adalah bibit padi yang berusia sebulan. Bineng inilah yang nantinya akan ditanam, disebarkan teratur diseluruh penjuru sawah. Kekompakan dan kebersamaan yang terjalin diantara mereka menjadi satu pemandangan yang langka di tengah gaya serba ‘sendiri’ zaman modern ini.. Saya suka.
mencabut bineng padi
“Darimana, nak??” Bapak-bapak bertopi hijau dengan senyum menyenangkan itu menegur saya.
“Saya dari Sumbawa Pak.”
Sambil mencabut bineng, si Bapak itu dan beberapa petani lainnya saling berkelakar. Mengeluarkan guyon-guyon khas Sumbawa yang membuat kita terkekeh mendengarnya. Si Ibu-ibu hanya tersenyum simpul kemudian tertawa tanpa mengeluarkan suara tawa yang membahana. Guyon-guyon yang keluar dari mulut mereka menjadi semacam multivitamin penambah semangat dikala mentari sedang terik-teriknya membakar kulit, setidaknya mereka bisa melupakan panas yang membakar itu dengan guyon yang membuat hati bahagia. Pekerjaan akan terasa ringan jika dilakukan dengan riang gembira. Inilah salah satu ciri khas warga Sumbawa, dimana dan kapanpun selalu bagesa (berguyon: Sumbawa red).
ini nih yang membuat saya suka dengan masyarakat desa, keramahan mereka yang menyenangkan
Basiru
Dari percakapan dan turun sawah saya hari itu, saya baru tahu ternyata ada satu tradisi unik yang masih berkembang di Sumbawa khususnya di daerah pedesaan seperti Batu Alang ini. Namanya Basiru. Basiru itu adalah salah satu wujud gotong royong dikalangan masyarakat Sumbawa.
“Misalnya gini nak, hari ini sawah saya yang mengadakan kerja besar, seperti mencabut  bineng, tanam padi, dsb. Jadi hari ini saya akan mengumumkan ke tetangga-tetangga sekitar rumah untuk membantu saya di sawah. Tetangga yang mendengar saya akan ada kerja di sawah akan datang membantu saya. Kegiatan tolong menolong dan gotong royong itulah yang dinamakan dengan Basiru.”
“Saya yang meminta tolong kepada tetangga untuk membantu di sawah disebut dengan ete siru atau ambil siru.”
“Nanti pada saat yang lain mereka juga mengadakan hal yang sama di sawahnya, karena mereka telah membantu saya, saya juga berkewajiban membantu mereka disawahnya. Kegiatan membantu mereka disawah itu yang dinamakan dengan bayar siru. Begitu terus menerus, saling membantu sesama petani.”
“Nanti ketika panen, kita biasanya saling memberi hasil panen kepada mereka yang telah membantu di sawah kemarin. Tidak banyak, sih. Walaupun beras dimana-mana rasanya sama, tetapi ada rasa yang beda ketika kita memberikan itu dengan cinta kasih. Cara-cara seperti itu yang terus dilakukan sebagai pererat hubungan sosial dimasyarakat.”
Jika dalam kehidupan masyarakat Sumbawa, tradisi Basiru ini juga tidak hanya dalam urusan tanam menanam padi semata, tetapi juga masuk ke dalam lingkup hubungan sosial yang lebih luas. Misalnya saja pernikahan atau kerja-kerja besar semacam syukuran, sesama tetangga harus saling bantu membantu, supaya nanti juga ketika acaranya dia orang-orang juga banyak yang membantu. 
bermain sambil membantu ibu
Percapakan hari itu banyak membuka pikiran saya. Seharusnya seperti ini kehidupan itu, saling tolong menolong, bahu membahu untuk mencapai satu tujuan yang sama. Ketika Sumbawa sudah mulai digerus arus modernisasi yang serba instan, tetapi ada di satu pojok bumi Sumbawa, masyarakat yang masih memegang nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan itu. Siapa yang sangka dari perjalanan iseng-iseng saya bisa mendapatkan pengetahuan yang luar biasa dan dari orang-orang yang terlihat biasa-biasa saja: Petani.

6 komentar:

  1. Ayo harus dijaga budaya BASIRU ini...

    BalasHapus
  2. Seme' itu dibacanya gimana, Lu?
    Tradisi seperti basiru ini harus terus dijaga, apalagi di jaman seperti sekarang ini yang masyarakatnya mulai individualis. Jadi kangen ngeliat sawah....
    Foto-fotonya keren, Lu.. like this banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. dibacanya kayak baca "kece" bunyi "e" yang nyata :D
      iya mbak sepakat, harus seperti itu, saling tolong menolong untuk satu tujuan yang sama :D

      Hapus
  3. Foto terakhir cukup membuyarkan fokusku tentang basiru :D

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^