Minggu, 05 April 2015

Belajar dari Sebuah Perjalanan

Kamis, 2 April 2015
Beberapa jam yang lalu saya masih berkutat dengan segala kesibukan di kampus. Rapat dengan mahasiswa, persiapan seminar dan ini itunya yang membuat kepala ini pusing tujuh keliling. Hujan juga tak kunjung mereda. Belum lagi memikirkan izin dari Ibu yang belum saya kantongi. Beberapa kali menekan keypad di HP, mencoba menuliskan sepatah dua patah kata permohonan maaf kepada teman-teman untuk tidak bisa mengikuti perjalanan ke Pulau Moyo kali ini, tetapi pesan itu saya hapus kembali. Takut teman-teman kecewa, karena saya sudah mengiyakan jauh-jauh hari sebelumnya. Jika memang ada ‘jodoh’ untuk bisa kesana, entah dengan cara apa Allah akan membawa saya kesana. Sekarang waktunya berserah diri atas segala takdir Allah, mengikuti segala rencana yang tersaji di depan. Seperti air yang mengalir mengikuti kemana aliran membawanya. Dengan segala kerendahan hatinya menerima perjalanan-perjalanan itu dengan ikhlas. Saya juga harusnya seperti itu, seperti air yang mengalir: ikhlas menerima.
Pukul 19.30 Wita
Duur, duur, duuur, duur…

Suara perahu klotok milik Bapaknya Ichal langsung memecah keheningan laut Sumbawa. Malam ini laut begitu tenang, angin pun berhembus perlahan, riak ombak malu-malu mengganggu perjalanan kami. Semesta seakan berkolaborasi menciptakan satu perjalanan  yang tak akan terlupakan bagi kami. Skenario indah yang tak terencana bagi para pejalan. Tidak ada yang kebetulah. Tentu saja. Karena sebelum kami berencana, Allah telah terlebih dahulu menuliskan segala cerita untuk kami dalam bukunya yang agung: Lauhul Mahfudz. Kami hanya eksekutor dari segala rencana-rencanaNya. Ibarat sebuah film, kami adalah artisnya, dan Allah adalah penulis skenarionya. Penulis skenario tahu mana scene yang baik untuk artisnya dan mana yang tidak.
“Gak nyangka kita jadi juga ke Pulau Moyo.” Celoteh Mbak Elly, teman di Adventurous Sumbawa yang juga menjadi otak dalam perjalanan kali ini.
“Iya Mbak, padahal tadi saya masih pusing dengan seminar-seminar di kampus. Tak kirain bakal gak jadi kita berangkatnya, hehehe.”
“Itulah rencana Allah.”
siap2 berangkat

Jangan takut melakukan perjalanan, karena Allah selalu bersama para pejalan. Pesan dari Mas Bolang yang saya telan bulat-bulat masuk ke dalam hati saya yang terdalam. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terombang-ambing sendirian dalam perjalanan, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terdampar ditengah gurun tanpa oase jika waktunya berjalan itu masih panjang. Pun begitu kali ini, walau tanpa persiapan apapun, nikmatilah, karena alam akan berkonspirasi membuat cerita indah untukmu. Angin yang berhembus menyapu wajah menimbulkan damai tersendiri. Laut yang begitu tenang. Rembulan yang dengan bangganya memperlihatkan sinarnya yang agung. Perjalanan malam ini begitu indah. Laut seakan tahu hati yang resah, sehingga ombaknya pun tak diperlihatkan sekarang. Laut ingin kami benar-benar menikmati perjalanan ini, tanpa ketakutan sedikit pun, karena ini pertama kalinya kami melakukan penyebrangan malam menggunakan perahu kecil (lagi).   
Dua setengah jam berada di tengah laut, kami pun tiba di pulau nan romantis ini: Pulau Moyo. Pulau yang membuat semua orang rindu untuk menikmati segala sensasi keindahannya. 
*** 
pagi dan kopi, dua hal yang tak bisa dipisahkan
selamat pagi!!
Jum'at, 3 April 2015
Tidak ada yang melebihi kenikmatan menghirup udara pagi dengan secangkir kopi hangat, setelah semalam melakukan perjalanan indah dan tidur dalam dekapan nyenyak yang menenangkan. Ah, ini benar-benar kenikmatan yang luar biasa. Syukur atas segala nikmat-Nya tak henti-hentinya kami panjatkan. Sungguh. Angin laut pagi yang berhembus dingin membuat jaket semakin erat kami rapatkan. Untung saja ada sisa api unggun semalam yang menjadi penghangat tubuh kami pagi ini. Pagi yang indah untuk semangat yang baru, yeyyy.
“Alam sudah menyiapkan segala yang kita butuhkan, jika ingin berusaha sedikit saja, kita tak perlu uang untuk makan.” Ucap Bapaknya Ichal sembari menusukkan ikan di bambu. Benar juga apa yang beliau katakan, jika sekedar untuk makan kita tak perlu uang. Kita hanya perlu mencari segala yang ada di alam. Hidup sederhana dan bersahaja, itulah yang saya pelajari dari keluarganya Ichal. Keluarga itu begitu baik, senyum dan sapaan hangat selalu menyambut kami jika berkunjung ke rumahnya, di Ai Bari. Pagi ini saja, Bapaknya Ichal tahu betapa kami kelaparan dan hanya berbekal mi instan dan kopi sachet saja, beliau datang membawakan kami ikan hasil tangkapan semalam untuk kami bakar sebagai pengganjal perut untuk melanjutkan perjalanan ke Mata Jitu. Orang baik itu ada dimana-mana, kawan. Percayalah.
ikan hasil tangkapan semalam
sarapan ikan bakar dulu

4 komentar:

  1. jadi inget,kappan hari juga naik pompong malam2...modalnya bismillah dan selalu dzikir.
    itu ikannya seger bangett^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, iya mbak... rada takut sih tapi alhamdulillah ombaknya lagi bersahabat sama kita :D
      itu ikan hasil tangkapan kita lho mbak, fresh from the sea :D

      Hapus
  2. Naik pompong, nenda di pulau, bakar ikan, itu bener-bener merupakan kombinasi yang cucoook! Sukaaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. bangeet mbak, menyenangkan sekali...
      itu yang buat nenda itu selalu ngangenin, sensasinya itu lhoo :D

      Hapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^