Dia baru dua belas
tahun. Duduk disamping Ibunya dengan tenangnya. Sesekali diusapnya air mata
Ibunya yang berlinang. Dia duduk sambil memandangi Ayahnya yang kaku, dingin.
Dia tegar, kuat, tanpa berlinang air mata. Bagiku itulah patokan kuat, ketika
tidak berlinang airmata, dan meraung-raung ketika ditinggalkan.
Orang-orang
datang silih berganti. Sekali melihat Ayahnya yang kaku, sekali melihatnya yang
tegar. Mereka menangis. Entah apakah arti tangisan itu. Aku benci suasana ini.
Aku benci orang yang meraung ketika Allah mengambil milik yang dititipkan, aku
juga benci dengan ketakutan diriku ketika aku dihadapkan dengan hal yang sama,
aku takut tak bisa mengendalikan diriku, aku takut tak bisa tegar dan ikhlas
menerima pengambilan milik-Nya itu. Aku ingin seperti tukang parkir yang selalu
sadar bahwa motor itu bukan miliknya, sadar bahwa itu hanya titipan yang
sewaktu-waktu bisa diambil pemiliknya. Kenapa kita mesti merasa memiliki
terhadap hal yang bukan milik kita??
Anak itu baru dua belas
tahun. Dia anak laki-laki. Dia duduk disamping Ayahnya, memeluk Ibunya yang
meraung-raung. Dia masih kecil, tetapi dia setegar itu. Orang-orang datang
silih berganti, sesekali berbisik “kasian dia masih kecil”, kemudian air mata
mereka mengalir.
Meninggalkan atau
ditinggalkan adalah dua pilihan yang tidak bisa dipilih. Perkara apakah kita
yang akan meninggalkan mereka, atau mereka yang akan meninggalkan kita hanya
Allah yang tahu. Waktu akan menjadi eksekutor paling tepat. Kapan, bagaimana
dan dimana akan terjawab jika waktunya tiba.
Aku melihat anak dua
belas tahun itu, membayangkan dia yang akan sendiri, bulir bening itu tak
terasa jatuh.
NB:
Selamat jalan Ami Mat,
semoga tenang disana, anak laki-lakimu kelak akan menjadi anak yang hebat sama
sama sepertimu.
jangan bersedih, Allah bersama kita |
tulisan tentang mati selalu ampuh mengingatkan diri tentang sejatinya hakekat hidup ini.
BalasHapusiya bener....
Hapuskarena itu hidup yang kekal, dan pertanggungjawaban hidup di duni ini jg mesti kita terima di akhirat kelak...