Mataram didatangi hujan lagi, ini memang lagi musimnya sih, jadi tidak tahu kapan apakah itu siang bolong atau tengah malam buta, jika ia mau datang maka ia akan datang. Seperti perasaan dan 'dia', jika sudah waktunya datang, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau 'dia' pasti akan datang.
Malam minggu dengan hujan pasti sangat menyebalkan bagi mereka yang sedang punya segudang rencana untuk menghabiskan waktu dengan sang kekasih. Aku masih di dalam kamar mungil ini, dengan segelas kopi dan sepotong roti. Cukup untuk menghilangkan hawa dingin yang mendera. Hei kenapa tiba-tiba wajah itu datang berkelebat?? Akhir-akhir ini dia memang selalu hadir dan berlaku aneh padaku. Hei kau yang di sana?? Apakah kau tahu bagaimana cara mengusir ini?? Jika ia semacam hama yang hanya bisa dihilangkan dengan semprotan pestisida, aku mau membeli pestisida itu. Tapi ini bukan hama, ia tanaman kecil yang terus berkecambah, membesar dan memenuhiku.
***
"Kau mau jalan-jalan besok pagi???" Matanya terlihat malu kepadaku. Aku menatap mata itu, tidak lama hanya sepersekian detik, aku kemudian mengarahkan pandanganku ke tempat lain.
"Hari minggu bagiku adalah waktu istirahat yang panjang, tapi tak apa aku sekarang sedang jengah dan aku ingin menghabiskan pagi yang berbeda dari biasanya." Aku menerima tawaran itu.
***
Bagi mereka, pagi ini mungkin berjalan seperti biasa. Ayam berkokok pada waktunya, matahari terbit tepat juga pada waktunya, Ibu-ibu pedagang nasi seperti biasa menjajakan jualannya ke rumah-rumah, semua berjalan biasa. Tidak ada perubahan keadaan pagi ini. Semua biasa. Tetapi ada yang tak biasa, dia menjalar di sini, tepat di dada ini. Kadang bergetar, kadang juga tiba-tiba berhenti ketika mata itu menatap. Mata yang menatap, malah hati yang bergetar. Apakah namanya ini???
Aku berjalan dibelakangnya. Cukup punggung yang tak bisa kugapai hanya kulihat sebatas punggung. Kadang juga dia menoleh ke belakang, melihat apakah aku masih mengikutinya atau tidak. Aku akan mengikutimu, aku takut tersesat sendirian di sini.
Aku sempat mengarahkan kameraku pada seorang Bapak-bapak yang sedang mendorong anaknya dengan trolli bayi, sang isteri mengikuti di sampingnya. Romantis sekali mereka. Bukankah begitu seharusnya, berjalan beriringan, tidak saling mendahului atau saling meninggalkan. Entah perasaan darimana datangnya, aku tiba-tiba ingin berjalan beriringan dengannya. Ah sudahlah, ini hanya tentang cinta sebatas punggung, kata Dee.
Aku masih berjalan dibelakangnya, sesekali dia menoleh kepadaku. Aku hanya tertunduk, tak bisa kutatap mata itu.
***
"Kakiku lecet." Dia meringis.
"Coba lihat itu," Dia menunjukkanku kakinya yang memerah. Tampangnya yang sangar dan kelakuannya yang mendadak manja saat ini sangat tidak sepadan. Bisa juga dia meringis seperti itu. Aku hanya melihat kakinya yang memerah. Ingin rasanya aku membawakannya sekotak P2K, dan mengobatinya dengan hati-hati. Membersihkan setiap kotoran yang melekat di sana. Tapi aku tak bisa. Aku hanya bisa melihat kakinya yang memerah. Ibu, inikah yang dinamakan sesak itu???
***
Jika memang bukan sebatas punggung yang hanya bisa kulihat, kau pasti akan datang dan berjalan sejajar denganku.
#NB:
Just write, antara fiksi dan non fiksi ^_^
maybe its can be new inspiring for "My cerpen"