kita pernah menghabiskan sepotong sore disini, ingatkah????? |
“Mungkin senja terlalu
percaya diri bahwa hujan akan selalu datang ketika ia minta. Sepertinya senja
sekarang harus bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mataharilah yang selalu
setia datang menyapanya, tanpa ada kata terlambat sedikit pun.”
Berhari-hari
dia hilang tanpa kabar. Semua pesan yang ku kirimkan tak lekas mendapatkan
jawaban.
“Kamu
lagi dimana?” Pesanku malam ini padanya, lagi. Perasaan harap-harap cemas
menunggu balasan darinya lebih menegangkan daripada menunggu lamaran
diterimanya pinangan dari seorang gadis. Mungkin aku tidak seharusnya
mengkhawatirkannya, tetapi perasaan khawatir ini tiba-tiba datang dan membuatku
gila untuk selalu mengecek HP, berharap pesan darinya segera tiba. Tiga puluh
menit berlalu, dia tidak memberikan jawaban apa-apa.
“Kamu
lagi dimana?? Sudah beberapa hari ini aku ke rumahmu, dan kamu selalu saja
tidak ada.” Pesanku lagi. Rasa khawatir ini seperti menaiki kursi goyang,
seperti telah bergerak lama tapi tak membuahkan hasil apa-apa, aku hanya diam
ditempat yang sama, dalam kebimbangan yang sama. Tak berkesudahan. Aku teringat
percakapan dengannya empat hari yang lalu di warung Mbak Nah langganan kita
semenjak masa sekolah.
“Sepenyendiri-penyendirinya
seseorang dia pasti butuh seseorang untuk ada disampingnya, untuk mendengarkan
segala ceritanya, bukan?” Aku bisa merasakan bebannya yang memberat.
“Akan
ada saat dimana mereka tak baik-baik saja, mereka butuh seseorang untuk
menguatkannya. Seberapapun bahagianya dia menjalani hidup, dia tetap butuh
seseorang untuk menemaninya. Karena begitulah hakikatnya manusia diciptakan,
untuk hidup berpasang-pasangan.”
Uap kopi yang mengepul seolah diam sejenak, menikmati jeda yang tercipta antara
kita berdua. Aku bisa melihat dia yang bukan dia. Seperti ada sosok lain yang
menguasai tubuhnya. Ini aneh!!
“Terus??”
Aku mencoba menanggapi ceritanya.
“Entahlah.
Semacam ada perasaan rindu yang tiba-tiba datang.”
“Ah
itu hanya perasaan melankolismu saja, makanya jangan terlalu banyak baca
novel.” Aku mencoba mencairkan suasana, aku tidak ingin percakapan ini berakhir
gantung, seperti percakapan-percakapan kita terdahulu. Aku tahu betapa tidak
mudahnya dia bercerita hal terdalam darinya, bahkan dengan Ibunya yang
melahirkan dan membesarkannya.
“Kamu
pernah suka dengan seseorang??”
Deg,
pertanyaan yang menghunus jantungku. Manusia normal pasti akan pernah merasakan
rasa itu, dan aku masih normal.
“Kenapa?”
“Ndak
ada, aku hanya ingin tahu bagaimana perspektif laki-laki jika jatuh cinta.”
Aku
mendengarkan dengan patuh setiap kata yang keluar dari bibirnya, bahkan
berkedip pun aku atur sedemikian rupa sehingga aku bisa benar-benar khusyuk
mendengarkannya. Ah dia masih sama, selalu gila dan mendadak tak waras dengan
perasaan itu. Aku teringat bagaimana gilanya dia ketika menyukai seorang kakak
kelasnya dulu semasa SMA, dia rela naik ojek dari rumahnya kemudian berhenti di
rumahku, lalu kita jalan bersama ke sekolah yang jaraknya bisa dibilang tidak
dekat. Laki-laki yang disukainya itu adalah tetanggaku. Kita akan berpura-pura
jalan bersama, mengikuti laki-laki itu dari belakang, seolah itu adalah
ketidaksengajaan. Dia memaksaku untuk ‘sok dekat’ dengan laki-laki itu, dengan
harapan dia bisa tahu segala hal tentangnya. “Aku tidak butuh banyak hal, cukup
melihatnya di pagi hari, dan ketika malam aku akan senyum-senyum sendiri
mengingat semuanya.” Ini kegilaannya yang pertama yang aku tahu.
“Jadi
laki-laki mana yang telah membuatmu menjadi zombie seperti ini?”
“Hahaha.”
Dia tergelak bebas.
Seperti
biasa, sepintar apapun aku mengorek segala hal tentangnya dia tidak akan
bercerita. Hanya hal absurd, aneh,
yang membuat semua orang semakin bertanya-tanyalah yang akan dia ceritakan.
Mungkin aku perlu belajar psikologi atau ilmu hypnotheraphy untuk bisa tahu hal ‘pribadi’ tentangnya itu.
***
“Temui
aku di warung Mbak Nah.”
Setelah
berhari-hari pesanku tanpa jawaban, dia akhirnya datang dengan pesan singkat
seperti itu. Ada apa?? Dia baik-baik saja kan?? Aku lebih suka dia yang
merepotkanku setiap detik dengan segala urusan remeh temeh yang tak jelas,
daripada diam seperti ini. Aku seperti tak mengenalnya. Sungguh.
Warung
Mbak Nah dan kantorku tak berjarak jauh, hanya sepelemparan batu. Dekat. Tidak
butuh waktu lama untukku sampai disana. Seorang wanita dengan rambut ikat kuda
duduk disalah satu pojok warung itu. Dihadapannya laptop menyala, dan segelas
kopi susu tergeletak sabar. Masih mengeluarkan
uap panasnya. Dia asyik dengan aktifitasnya. Dia sibuk atau pura-pura sibuk.
Entahlah. Sesekali dia memegang HP yang seharusnya sudah masuk ke dalam museum,
memainkannya sebentar lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Bosan memainkan
HP, laptop menjadi sasaran tangannya. Kemudian kopi yang mulai mendingin itu,
diseruput dengan perlahan, sedikit demi sedikit.
“Sudah
lama??” Aku keluar dari persembunyianku. Tak sabar juga aku mengintainya
diam-diam, seperti mangsa yang siap diburu.
“Kau
tahu betapa mati gayanya aku menunggumu??” Dia mencibirkan bibirnya.
“Jadi
dalam rangka apa kamu memintaku datang??”
“Jadi
aku harus membuat sebuah perayaan spesial hanya untuk bertemu sahabatku???” Dia
balik bertanya padaku.
“Tidak
harus, tetapi aku masih bertanya-tanya, makhluk apa yang membuatmu menjadi
mayat hidup seperti ini. Ibumu telah bercerita banyak tentangmu kemarin.”
Dia
tergelak, lepas. Tawanya hampir merubuhkan warung Mbak Nah yang terbuat dari
kayu ini. Semua mata menatap kita. Aku memandang mereka dengan tatapan “opps
maaf.” Haish, anak ini, dia tidak pernah berubah! Masih suka membuatku malu
mendadak seperti ini.
“Sepertinya
kita harus pindah tempat, jangan disini, tawamu bisa menarik perhatian
orang-orang.” Aku setengah berbisik kepadanya.
“Oke
maaf, ini tawaku yang pertama dan terakhir hari ini, karena cerita yang akan
aku ceritakan selanjutnya adalah cerita tanpa tawa. Hahaha.” Dia tertawa lagi.
Dan aku mulai bingung.
Pengunjung
warung Mbak Nah sudah mulai sepi, hanya ada satu, dua para pegawai kantoran
yang masih makan siang sembari bercengkrama dengan pegawai lainnya. Kita sudah
mulai masuk dalam pembicaraan serius. Kopi susu yang dipesannya tadi sisa
setengah gelas. Dia mulai bercerita tentang senja, matahari dan hujan. Senja
sangat menyukai rutinitasnya, datang dan pergi tepat pada waktunya. Senja menyukai
takdirnya seperti itu. Senja suka ketika matahari datang menyapanya, kemudian
mereka akan berkolaborasi membuat kehangatan yang romantis. Seperti hari
sebelumnya, senja dan matahari selalu datang dengan warna kehangatannya. Senja selalu
datang menggoda para pencinta di belahan bumi manapun untuk sekedar
menghabiskan sepotong waktu dengannya di sore hari, sekedar menyeruput segelas
kopi di hadapannya. Senja bahagia dengan kehangatan yang bisa diberikan kepada
mereka. Hingga suatu ketika hujan datang menyapanya, pertama hanya malu-malu. Kehangatan
dan kesejukan itu mulai lebur jadi satu. Senja mulai menikmati sapaan malu-malu
hujan itu. Setiap hari senja selalu menunggu dengan sabar kedatangan hujan itu.
Walau ia tahu ada banyak yang merutuk kedatangan hujan yang membuat kehangatan
senja mulai membias. Tetapi senja suka. Ia menyukai kedatangan hujan disetiap
sore itu. Hujan membawa satu warna baru dalam hidupnya yang begitu-begitu saja.
Senja mulai harap-harap cemas akan kedatangan hujan, setiap saat dia menanti
apakah hari ini hujan akan menyapanya atau tidak. Dan cemas senja mulai berubah
menjadi ketakutan sekarang karena hujan tak pernah menyapanya lagi, bahkan
melalui gerimisnya yang malu-malu. Senja mulai ketakutan. Mereka yang melihat
senja tak lagi hangat juga mulai ketakutan. Takut senja yang akan berdiam dalam
mendung yang menggantung, tak ada bias cerah senja seperti dulu. Senja mulai
murung, tak ada lagi cahaya hangat yang menyapa sore itu, walau matahari selalu
datang menyapanya tanpa lelah.
“Bagaimana
akhir kisah senja itu??” Tanyaku penasaran.
“Mungkin
senja terlalu percaya diri bahwa hujan akan selalu datang ketika ia minta.
Sepertinya senja sekarang harus bisa berdamai dengan kenyataan bahwa
mataharilah yang selalu setia datang menyapanya, tanpa ada kata terlambat
sedikit pun.”
“Senja
tidak merutuk hujan??”
“Tidak,
karena hujan pernah membuatnya menanti dan harap-harap cemas. Hujan pulalah
yang membuat hidupnya kaya rasa.”
“Bagaimana
dengan matahari?? ”
“Matahari
dan senja mungkin paduan yang serasi, dia tak pernah lelah menghampiri walau ia
tahu hujan juga menyapa senja di sore itu.”
Mata
kita saling bersitatap. Memang seharusnya begitu, kenapa kau baru sadar
sekarang?? Senyum itu mengembang. Aku suka.
Tamase,
28 Maret 2015
*Malam
ini Tamase begitu indah, segala inspirasi dan kegundahan seperti melebur jadi
satu. Aku menyukai hujan itu, sungguh, tetapi aku takut pada kenyataan bahwa
semuanya hanya biasa-biasa saja.
Satu kata, inspiratif deh kisahnya
BalasHapussesuatu yang dari hati, hehehe
Hapus