Rabu, 27 Mei 2015

Bakso H. Anang, Rasanya Susah Bikin Move On



Semasa zaman kuliah dulu, pusing skripsian atau galau gara-gara something, langsung deh badan nongol di warung bakso ini. Makan semangkok bakso dengan cabe ekstra, dijamin pusing gara-gara skripsi hilang. Yah walaupun pusingnya hilang sebentar, dan muncul lagi nanti ketika berkutat dengan lembar-lembar kertas itu, tapi setidaknya kenikmatan bakso itu membuat pusing hilang sebentar, hahaha (bagaimana ndak gemuk coba, setiap galau larinya ke warung bakso). Bakso ini sangat akrab dengan lidah orang Mataram. Sejak pertama kali tiba di Mataram dan menikmati kelezatan bakso ini, saya sudah tidak bisa move on dengan warung bakso yang lain. Hanya Bakso H. Anang yang bisa memikat lidah, dan membuat ingin menikmatinya lagi dan lagi. Selain karena rasa baksonya yang nikmat, warung bakso ini juga bersih. Jadi tidak khawatir untuk menemukan hal-hal yang tidak mengenakkan selama memakan bakso disini. Ada banyak varian bakso, mulai bakso urat, bakso telur, dll. Bisa dicoba sesuai dengan selera masing-masing. Dan yang paling penting bagi anak rantauan seperti saya adalah harganya yang bersahabat dengan kantong mahasiswa. Warung bakso yang fenomenal di Kota Mataram ini bisa dengan mudahnya ditemui, letaknya tepat di pusat kota Mataram, yaitu di Ruko setelah Museum NTB, atau di warung induknya yang ada di Ampenan. Tidak usah takut mau di warung cabang atau induk, rasanya sama kok.
bakso H. Anang

Beberapa bulan yang lalu, saya berkesempatan pergi ke Mataram, menjenguk adik-adik yang masih berkuliah disana. Pulang kampung, dan menetap di Sumbawa dalam waktu yang lama membuat rindu menikmati bakso ini berlipat-lipat. Serasa ada yang kurang jika ke Mataram tapi belum mampir ke warung bakso ini. Rugi total. Sama ruginya dengan ke pantai tetapi tidak bisa berenang cantik di pantainya. Makan bakso H. Anang juga semacam nostalgia zaman kuliah. Makan bakso bareng teman-teman kelas. Tempat yang dipilih wajib di pojokan, kata mereka biar kalau ribut, orang-orang tidak terlalu terganggu. Padahal sama saja, ribut ya pasti akan terdengar ke telinga pengunjung yang lain. Tempat ini benar-benar mengingatkan banyak hal. Ada banyak cerita yang pernah terkisah disini, cerita dengan sahabat, galau-galau skripsi, diskusi tentang wish list pun banyak terjadi disini. Wah jadi kangen, makan bakso H. Anang lagi.
menikmati semangkok bakso dan segelas es jeruk, ehmm yummi

Yuk buat teman-teman yang mau ke Mataram tapi belum tahu tempat asyik buat makan bakso atau hang out bareng teman, saya rekomendasikan untuk makan bakso di H. Anang. Dijamin deh gak bakal bisa move on dengan rasanya, sama dengan saya yang masih belum bisa move on dengan si dia #eh 

Lokasi Bakso H. Anang  
1. Bakso Cabang H. Anang, Ruko di perempatan setelah Museum NTB, Mataram
2. Ruko Griya Pesona Rinjani A9 Jalan Adi Sucipto, Ampenan, Mataram

Jumat, 15 Mei 2015

Bapak: Cinta dan Khawatir itu Berjalan Bersisian, Nak



“Hanya Bapak, laki-laki yang bisa kamu percayai seutuhnya.”

Pesan Bapak diwaktu aku beranjak remaja yang tak akan kulupakan hingga saat ini. Bapak, seseorang dengan cinta yang kadarnya tak bisa ditakar dengan apapun. Cinta dan khawatirnya yang selalu berjalan bersisian. Bapak, setiap harinya tanpa lelah selalu mengingatkan anak perempuannya untuk percaya bahwa laki-laki yang bisa dipercaya itu hanya bapak, selain itu jangan. Ketika anak gadisnya terlambat pulang, berkali-kali tanpa bosan telepon itu dideringkan. Ketika anak perempuannya beranjak remaja, segala petuah dan nasihat tak henti-hentinya diperdengarkan, berharap anak perempuannya selalu terjaga dan berbuat yang lurus-lurus saja. Bapak, seseorang yang selalu khawatir ketika ada laki-laki yang datang mengapeli anak perempuannya kerumah. Bapak dengan teliti melihat dari ujung kaki hingga kepala, siapa gerangan yang berani mengambil hati anak perempuannya. Bapak, seseorang yang setiap harinya tanpa lelah memberi petuah supaya anak perempuannya menjadi perempuan yang kuat, tidak boleh manja, mandiri dan hebat. Bapak, seseorang yang paling cerewet ketika anak perempuannya terlambat bangun atau tidur terlalu lama, bukan apa, dia hanya takut anaknya terbiasa hidup tak disiplin dan akan berlanjut hingga tua nanti.
Bapak, laki-laki super bagi anaknya yang cintanya tak akan bisa ditakar oleh apapun. Ketika anaknya sakit, mungkin Bapak adalah orang yang terlihat paling tenang, tetapi dibalik itu ada air mata yang diam-diam jatuh perlahan. Bapak sengaja menguatkan diri, karena punggung harus kuat menopang bagian tubuh yang lain, menopang Ibu yang juga larut dalam sedih tak berkesudahan. Bapak laki-laki yang paling cerewet ketika anaknya tak bisa masak, ketika anaknya tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Bapak hanya tidak ingin nantinya suami anak perempuannya lebih suka masakan warung daripada masakan anak perempuannya. Bapak hanya tidak ingin rumah anak perempuannnya dikerjakan orang lain. Bapak hanya ingin mengajari anak perempuannya jadi anak yang kuat. Ketika anak perempuannya bepergian keluar rumah, introgasi yang begitu detail ditanyakan Bapak, dengan siapa kamu pergi, mau kemana, bagaimana makanmu nanti, pastikan jangan terlalu kelelahan.

“Banyak pesan yang disampaikan Bapak membuatku sadar akan cinta dan kekhawatiran itu selalu berjalan bersisian, sampai kapanpun.”

Sore itu sepulang kantor, Ibu bercerita tentang Bapak, tentang kekhawatirannya kepada anak perempuan satu-satunya ini. Ada banyak ketakutan-ketakutan yang datang. Bagaimana hidup anak perempuannya nanti tanpa Bapak, siapa laki-laki yang akan mendampingi anak perempuannya nanti, bagaimana pekerjaannya, bertanggung jawabkah ia, dan banyak kekhawatiran lain yang membuatnya berharap dalam doa di setiap sujudnya: agar yang terbaik selalu dilimpahkan kepada anak perempuannya itu. Bapak seseorang yang paling takut ketika nanti anak perempuan satu-satunya ini meninggalkan rumah. Bapak seseorang yang paling takut akan kemungkinan-kemungkinan dikehidupan masa depan anak perempuannya ini. Bapak seseorang yang tak pernah terlihat bersedih, tetapi selalu menangis dalam diamnya, dalam setiap sujudnya memikirkan bagaimana anak perempuannya ini nanti.
Bapak, tenang saja. Aku akan jadi perempuan yang kuat, mandiri dan tentu saja tidak manja. Bapak jangan khawatir, aku sudah bisa masak, walau rasanya masih jauh dari masakan Ibu, tapi aku berusaha, Pak. Aku akan bertemu laki-laki yang baik. Laki-laki yang hebat, paling tidak menurut versimu, Pak. Bapak tidak usah khawatir, laki-laki baik sedang dipersiapkan satu untukku, hadiah terindah dari Sang Pemilik Cinta, Pak.  Nanti, dia juga yang akan menjagaku, membimbingku untuk menuju jalan itu. Bapak tidak usah khawatir, pesan-pesan yang kau sampaikan setiap waktu tak akan kulupakan, Pak. Karena pesan itu pula jadi bekalku untuk hidup yang tak mudah ini.

Sumbawa, 15 Mei 2015
Efek nonton Le Grand Voyage
Jadi mellow untuk menulis tentang Bapak
Bapak dan Ibu Tersayang, love youuuu :D
 

Kamis, 14 Mei 2015

Cerita tentang Sebuah Rumah

I
Aku pernah berdiri di depan pintu sebuah rumah. Seperti ini. Aku hanya berdiri didepannya, melakukan hal-hal konyol dan berharap sang pemilik rumah mempersilahkanku masuk. Yah sekedar minum kopi atau menikmati sepotong roti malkis. Atau bercengkrama, untuk kemudian tersadar, pamit dan meninggalkan rumah itu. Sekarang, aku berdiri di depan pintu disebuah rumah (lagi). Tetapi rumah yang berbeda. Dengan pemilik yang berbeda pula. Rumah itu begitu indah. Segala kenyamanan bisa kurasakan walau hanya melihat rumah itu dari kejauhan. Setiap kali aku melakukan perjalanan, aku selalu menyempatkan diri untuk menoleh rumah itu. Mengucapkan selamat pagi, bertanya apa kabar atau hanya melewatinya begitu saja jika aku sedang terburu-buru. Sang pemilik rumah juga terlihat ramah. Sangat ramah. Aku jadi tidak canggung untuk berbicara dengannya. Seiring waktu yang terus berjalan, hari pun berganti dengan cepatnya. Aku semakin berharap bahwa itulah rumah tempatku pulang. Cukuplah bagiku untuk terus berjalan.
“Ini bukan perkara siapa yang menghentikan perjalanan ini terlebih dahulu lalu mempersilahkan masuk, bukan? Tapi soal keberanian memulai untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam.”
II
Mungkin ini adalah keputusan terberat untukku. Tanganku keringat dingin, badanku gemetaran. Aku tidak pernah melakukan hal segila ini seumur hidupku. Dan ketika aku memutuskan untuk ‘jujur’, itu adalah kegilaan terbesar yang pernah aku lakukan. Nafasku tak beraturan, jantungku seakan melonjak dari tempatnya semula. Keringat yang menderas mencetak jelas jari jemariku yang menggenggam kertas surat itu: erat. Secepat kilat aku meletakkan surat itu tepat di depan pintu rumah itu, lalu berlari dan tak menoleh lagi. Sejak aku memutuskan untuk menulis surat itu dan memberikan kepada sang pemilik rumah, sejak itu pulalah aku mempersiapkan diri dengan kelapangan yang sangat, dan tentu saja dengan tenaga ekstra untuk berjalan kembali menyusuri jalan yang tak mudah (sendiri). Sejak saat itu aku memutuskan untuk pergi, berjalan seperti biasa.
III
Aku kira dengan terus berjalan dan mengunjungi banyak rumah, ingatan tentang rumah itu bisa hilang. Ternyata tidak. Aku semakin ingin mengunjungi rumah itu. Hanya untuk melihat senyum yang mengembang di depan pintu itu, menyapaku lalu mengajakku bercakap-cakap. Ada banyak rumah yang aku datangi, tetapi tidak senyaman berada di rumah itu. Aku masih membanding-bandingkan rumah yang satu dengan yang lainnya dengan rumah itu. Beberapa hari ini aku kembali melewati rumah itu, berharap menemukan pemiliknya sedang menyiram bunga atau memangkas rumput liar yang menganggu tamannya. Tetapi tak kutemukan pemandangan itu. Sang pemilik seolah hilang ditelan bumi, tanpa kabar sedikitpun. Taman di depan rumah itu juga terlihat tak terurus. Rerumputan liar merusak pemandangannya. Aku tak tahu kebodohanku mengirim surat itu berbuah pahit. Aku merindukan sosok yang selalu duduk di depan rumah itu dengan secangkir kopi dan buku ditangannya, lalu menyapaku dengan senyum khasnya. Aku merindukan sosok yang tak pernah lelah mengajakku bercerita tentang banyak hal seolah persediaan katanya tak pernah habis. Aku merindukan sosok itu. Sungguh. Dia apa kabar?
IV
Tak apa bagiku jika ternyata rumah itu tidak bisa kutempati, tetapi bisakah kita seperti sebelumnya. Sekedar bercengkrama, menikmati secangkir kopi di taman depan rumah itu. Tak apa bagiku, walau hanya berdiri di depan pintu, asalkan aku bisa melihatnya tersenyum dan menjalani hari seperti biasanya. Itu sudah lebih dari cukup jadi alasanku berbahagia.
V
Aku masih berdiri di depan pintu rumah itu. Tanganku mengepal, bersiap untuk mengetuk pintu. Mulutku sudah menganga untuk mengucapkan salam. Tetapi otakku tiba-tiba menginstruksikan hal yang lain. Tangan yang tadinya ku kepalkan melemas, mulut kukatupkan. Ah sudahlah. Aku tak cukup berani untuk kembali mengetuk pintu itu (lagi). Kakiku mundur perlahan, aku melangkah pergi dan tak kembali. Selamat tinggal.
 “Pada akhirnya berjalan pergi itu menjadi satu-satunya pilihan, daripada menetap tetapi hidup dalam bimbang yang tak ada akhirnya.”

Sumbawa, 14 Mei 2015
Dalam Dekapan Malam

rumah ini
Percakapan lirih dengan sang Ibu:

“Ibu, saya boleh nangis?”

“Jangan!!! Sekali-kali kamu harus sombong dengan air mata.”

Air mata itupun keluar dengan sendirinya. Maaf Bu, untuk pertama kalinya aku menghianati kata-katamu.

PS:
Perjalanan ini akan membuatku baik-baik saja, kan??

Selasa, 12 Mei 2015

Hai, Apa Kabar?



Hai..
Apa kabar? Tadi aku melihatmu di kedai kopi, dengan buku dan secangkir kopi hitam kesukaanmu. Aku ada di pojokan. Kamu pasti tak melihatnya kan? Seperti biasa, seperti sebelumnya, aku curi-curi pandang memperhatikan apa yang kamu lakukan di sana. Ingin hati datang menghampiri, bertanya kabar atau basa-basi banyak hal, tapi malu, hehehe.
Hai, apa kabar? Masih suka makan mi instan? Tidak apa-apa jika hanya sekali, tapi jangan keseringan ya, kasian lambungmu. Makanlah makanan yang sehat, kurangi makan di warung. Masak sendiri lebih bagus, walau hanya sayur bening dan telur ceplok. Setidaknya kamu bisa menjamin makanan itu sehat.
Hai..
Beberapa hari ini aku tak melihatmu menulis. Tidak seperti biasanya. Aneh. Kamu yang heboh dan rame, mendadak diam seperti tanda kiamat akan tiba. Ayo nulis lagi, heboh lagi. Hanya itu cara yang bisa membantuku untuk tahu kabarmu, untuk tahu apa yang sedang kamu pikirkan dan lakukan. Oh ya baiklah, mungkin kamu sedang sibuk. Pekerjaan kantormu mungkin sedang banyak-banyaknya hingga kau tak sempat menulis. Tapi jangan sampai pekerjaan itu bikin kamu begadang dan lupa jaga kesehatan ya, kasian tubuhmu, jangan didzolimi dengan pekerjaan yang berat. Istirahat jika lelah. Tidur jika mulai mengantuk. Makan jika lapar.
Hai..
Apa kabar? Jika nanti kita berpapasan di jalan, di warung kopi biasa, atau di manapun, jangan lupa sapa aku ya. Itu sudah lebih dari cukup kok, hehehe.

“Pada akhirnya aku hanya bisa menuliskan ini di sini, tanpa bisa bertanya langsung padanya.”


Sumbawa, 12 Mei 2015
di sebuah kedai kopi pinggir pantai
secangkir kopi di sore hari

Jumat, 08 Mei 2015

Jeda

Mungkin perlu jeda sejenak, menarik nafas yang tersengal-sengal karena terlalu lelah berjalan. Mari mengumpulkan energi yang terkuras habis untuk kemudian meneruskan perjalanan ini...
Semangat untuk diri saya, Ganbatte Kuadasai Lulu.
perlu jeda, untuk kemudian berjalan kembali....

Senin, 04 Mei 2015

Untuk Kamu yang Selalu Hadir dalam Setiap Doaku


dalam perjalanan itu, sesekali menghela nafas dan menatap pepohonan tinggu menjulang, ah damaaai
Dear, kamu....
Sebenarnya aku ingin menuliskan surat cinta untukmu. Menuliskannya dengan rapi diselembar kertas merah jambu. Tetapi aku rasa surat cinta terlalu lama sampai padamu. Terlebih lagi aku yang tak yakin akan keberanianku mengirimkannya. Ini hanyalah tulisan sederhana di rumahku. Rumah yang selama ini menjadi tempatku berkeluh kesah, berbagi banyak hal dan cerita. Jika kamu sempat berkunjung, anggap saja ini curhatan picisan dari seorang perempuan yang tak tahu harus berbuat apa.
Aku ingat kala pertama kita bertemu, dalam sebuah seminar di kampusku beberapa tahun yang lalu. Kamu menjadi pembicara waktu itu. Aku terhipnotis dengan segala kata-kata yang kamu sampaikan dalam seminar itu. Aku kagum pada pandangan pertama (terlalu kikuk jika dikatakan cinta). Sejak pertemuan pertama itu kita tak lagi bertemu. Kamu juga tak tahu siapa aku, aku juga tak banyak tahu tentang kamu. Pertemuan pertama yang hanya sepintas lalu. Tak ada kenangan yang begitu mendalam. Aku menjalani hariku seperti biasa. Kekaguman itu hanya sebatas pada kekaguman peserta seminar dengan pembicaranya, sama seperti di seminar-seminar yang lain.

“Aku berdoa, semoga bisa bertemu lagi dan mengenalmu lebih jauh.”

Setahun kemudian, pada tanggal yang masih jelas tercetak diingatanku. Kamu datang lagi, tetapi bukan dalam peran sebagai pembicara di seminar. Kamu datang dengan peranmu yang sebenarnya: penulis. Kita kemudian larut dalam diskusi yang panjang, bersama beberapa teman yang lainnya juga. Kamu banyak bercerita tentang sekolah-sekolah di desa terpencil  yang masih butuh perhatian pemerintah. Kau berbicara dengan semangat menggebu, berapi-api.  Dari pembicaraan pada pertemuan kedua itu, aku kembali menaruh kagum padamu: kapasitasnya lebih banyak dari yang pertama. Kamu memberitahu nomor HP-mu, sekedar basa basi pada kami jika ingin menghubungi atau sekedar diskusi tentang pendidikan. Dengan sigap aku menyimpannya di phonebook-ku. Siapa tahu nanti aku memerlukan nomor itu. Tidak hanya nomor HP, alamat sosial mediamu pun kamu beritahu. Kembali dengan malu-malu aku mengirimu pertemanan. Sejak saat itu, aku sering memperhatikanmu diam-diam melalui sosial media itu. Aku ingin tahu segala hal yang kamu lakukan. Mungkin kamu lupa hal detail seperti ini karena aku sama dengan orang yang kau temui, sepintas lalu dari banyak yang datang. Tapi aku tak akan lupa. Pertemuan pertama, kedua, bahkan gerak-gerik malu-maluku ketika mengintip sosial mediamu.  Semakin hari, kagumku semakin bertambah.