Kamis, 09 Juli 2020

Menuntaskan Rindu dengan Bersepeda Keliling Sumbawa

Jembatan Samota yang menjadi salah satu ikon Sumbawa. Di sini menjadi tempat favorit masyarakat Sumbawa utk lari sore dan sepedaan

Selama Pandemi, ada satu hal yang tidak bisa dilakukan anak rantau, yaitu pulang ke rumah, padahal jarak antara rumah dan tempat saya mengajar sekarang hanya 2,5 jam perjalanan saja jika menggunakan motor. Kebijakan pemerintah kabupaten setempat yang melarang warganya untuk keluar masuk kabupaten membuat kami para anak rantau tidak bisa pulang. Hanya jurus sabar yang bisa dikeluarkan sebagai obat dari semuanya sambil merapal doa-doa panjang semoga pandemi ini segera berakhir dan kita bisa pulang ke rumah dan menikmati kehangatan kebersamaan dengan keluarga kembali. 
Tidak selamanya badai berlangsung, tidak selamanya pula hujan deras mengguyur. Akan ada jeda yang bisa membuat kita bisa menarik nafas untuk bisa melalukan perjalanan lagi walau dengan mendung yang menggelayut. Sumbawa perlahan membaik. Pasien positif semakin menurun. Pemerintah pun mulai melonggarkan kebijakannya. Kami anak rantau bersorak bergembira menyambut itu semua. Libur sekolah tiga minggu tidak akan kami habiskan lagi di rantauan. Kami bisa pulang. Horeeeee.
Satu hari setelah pembagian laporan perkembangan anak, saya pulang ke rumah. Selama perjalanan, yang ada di dalam otak saya adalah bayangan wajah bahagia Ibu dan Bapak yang sedang menunggu di rumah. Beberapa bungkus palopo dan jagung rhee kesukaan Ibu Bapak tak lupa saya bawa. Begini ya ternyata rasanya bisa pulang ke rumah setelah sekian lama. Ada rasa bahagia yang sulit untuk diungkapkan. 

Selasa, 23 Juni 2020

Mencintai Saya

Create Your Own Happiness. Ini momen ketika membuat mural keroyokan di tembok Stadion Pragas Sumbawa di event Sumbawa Street Art

Kalian tahu tidak, bahwa lebih mudah mencintai orang lain dengan segala kekurangannya, daripada mencintai diri sendiri dengan segala kelebihannya. Tidak peduli seberapa hebat, kita selalu punya cara untuk membuat diri sendiri tidak percaya diri. Mungkin melalui kulit hitam yang kita miliki, yang katanya tidak lebih baik dari kulit putih milik mereka. Melalui hidung pesek dan pipi temben yang menghiasi wajah, yang katanya tidak lebih cantik dari mereka yang berpipi tirus dan berhidung mancung. Melalui badan gemuk dengan gelambir di mana-mana, yang katanya sangat tidak enak dilihat, dibandingkan dengan tubuh mereka yang ramping. Atau melalui omongan-omongan orang lain yang mengatakan kamu ini, kamu itu, dan harusnya kamu begini, kamu begitu, supaya bisa begini, dan begitu. 

Sabtu, 20 Juni 2020

Membuktikan Kekerenan Pantai Balad

Anak-anak yang asyik bermain di pinggir Pantai Balad

"Gak ke Balad, gak keren", kata-kata itu yang selalu diucapkan Pak Fud Syaifuddin, Wakil Bupati Sumbawa Barat setiap memposting apapun tentang Pantai Balad di sosial medianya. Saya jadi penasaran, sekeren apa sih Pantai Balad saat ini sampai kata-kata itu selalu digaungkan? Pertama kali saya ke Pantai Balad tahun 2017 yang lalu bersama teman-teman dari Sumbawa. Saat itu Pantai Balad hanya ada beberapa warung makan yang belum begitu tertata, rumah-rumah warga sekitar, dan berugak yang juga tidak begitu banyak. Sampah di mana-mana, belum lagi anjing yang berkeliaran kesana-kemari yang membuat saya tidak nyaman berlama-lama di sana. Kesan pertama saya ke Pantai Balad jadi kurang begitu baik.

Senin, 15 Juni 2020

Tumis Pakis, Cerita tentang Dapur, dan Pernikahan di Desa Tangkampulit

Ini kita yang lagi ngumpul di dapur, sambil masak dan menghangatkan diri.
Bisa baca tulisan perjalanan menuju desa ini di Perjalanan ke Desa Atas Sumbawa.

Tiba di Desa Tangkampulit pukul 17.15 Wita. Baju kami sudah tidak jelas warnanya seperti apa, sudah berhasil terkena basah air hujan, dan lumpur di jalan. Bau kopi hitam khas desa ini menyambut kedatangan kami. Lelah yang kami rasakan selama perjalanan perlahan mulai menghilang. Ditambah lagi dengan senyum warga yang menyambut kami. Aduh, manisnya. Kopi tanpa gula pun rasanya tak apa bagi saya, jika sambutannya sehangat dan semanis ini. 

Minggu, 14 Juni 2020

Perjalanan ke Desa di Atas Sumbawa

Tampang sebelum perjalanan kt yang aduhai. Masih oke semua ni tampilannya.. Wwkwk

Ada rindu yang tiba-tiba menyeruak ketika membuka HP dan melihat beberapa foto-foto perjalanan ke Desa Tepal dan Desa Tangkampulit beberapa bulan yang lalu. Apa kabar ya para guru di Madrasah dan anak-anak di sana. Saya penasaran dengan kehidupan di sana selama masa pandemi ini. Sepertinya dengan atau tanpa pandemi ini, kehidupan di sana berjalan seperti biasanya. Mereka tetap stay at home tidak keluar desa, ke ladang di pagi hari, lalu pulang sore harinya. Semua kebutuhan untuk makan sehari-hari didapatkan dari hasil berkebun. Ke Sumbawa hanya sekali dalam beberapa bulan untuk membeli kebutuhan pokok. Mereka juga tidak perlu pusing dengan segala pemberitaan terkait pandemi ini. Alangkah indahnya.
Kak Ilham santuy banget di atas hartop, padahal jalannya lumayan itu bikin jantung copot :)

Sabtu, 13 Juni 2020

Main di Bendungan Kalimantong

Bersama guru2 TK Gugus 1 Brang Ene

Di saat seperti ini, penting rasanya untuk menjaga kewarasan, agar otak selalu bisa berpikir dengan baik. Sudah beberapa bulan sejak Indonesia diserang virus yang bernama Covid-19 ini, dan sudah beberapa bulan itu pula kami para guru diserang kebosanan karena tidak mengajar. Setiap hari yang kami lakukan hanyalah datang ke sekolah, membuat RPP dan memberikan anak-anak beberapa kegiatan yang bisa dilakukan di rumah. Rasanya sangat membosankan sekali. Berbeda rasanya ketika ada anak-anak datang ke sekolah, setiap harinya selalu ada kejutan yang terjadi. Tingkah lucu dan unik anak-anak selalu ampuh menjadi penghibur kami. 

"Besok sabtu kita makan-makan yuk di Bendungan Kalimantong." Ajak Ibu Eka setelah kami selesai sarapan bersama pagi itu. 
"Eh iya ya, sudah lama kita ndak makan-makan bersama." Ibu Jum menimpali. 
Bendungan Kalimantong memang selalu menjadi tempat favorit masyarakat Brang Ene untuk menghabiskan waktu bersama. Makan bersama di pinggir bendungan, kemudian mandi di saluran airnya. Atau kalau airnya sedang bagus dan banyak-banyaknya, kita juga bisa mandi di sungainya. 
"Ayo mo." Jawab Ibu Rus, yang kemudian di-iya-kan oleh guru-guru yang lainnya. Mungkin makan-makan di bendungan ini bisa menjadi pengobat stress kami. 

Kamis, 04 Juni 2020

Karena yang Terbaik sedang Menanti Waktu Bertumbuhnya

Hasil kebun belakang
Ibu saya punya kebiasaan unik. Setiap selesai makan buah, dan jika dirasa buah itu cukup enak, maka biji dari buah itu akan ditanam kembali oleh Ibu. Kelengkeng, mangga, alpukat, sirsak. Entah ada berapa banyak biji buah yang ditanam dipot-pot kecil di taman depan rumah. Setiap hari pot-pot itu Ibu siram dengan rajin. Tak lupa juga pupuk organik diberikan. Dengan harapan nantinya, biji-biji itu akan segera bertunas dan tumbuh dengan subur. Tetapi uniknya lagi, hampir semua biji buah yang Ibu tanam tak ada satu pun yang bisa tumbuh besar, kecuali kelengkeng. 

Saya ingat beberapa tahun yang lalu, Ibu habis makan kelengkeng yang baru dibeli di pasar buah. Rasa kelengkeng itu sangat manis, daging buahnya tebal dan bijinya kecil. Seperti kebiasaan Ibu sebelumnya, biji kelengkeng itu dikumpulkan kemudian ditanam di pot-pot kecil. Gara-gara kelengkeng itu, Ibu jadi lebih suka menghabiskan waktu berada di taman depan rumah. Dengan sabar yang begitu sangat, Ibu menanti hari demi hari di mana biji itu akan memperlihatkan tunasnya. Hingga kemudian bulatan hijau kecil menyembul dari dalam tanah. Tak terbayangkan betapa bahagianya Ibu melihat tunas itu muncul.
Hari berganti hari, minggu, bulan dan tahun. Kelengkeng itu sudah tumbuh besar dan subur. Daun-daunnya begitu lebat, rantingnya juga tumbuh disetiap dahannya. 

Senin, 25 Mei 2020

Lebaran Ala Keluarga Pak Bandi




Pada akhirnya manusia memang hanya bisa berencana, hasilnya Allah yang menentukan apakah iya atau tidak. Sama seperti lebaran tahun ini. Sejak awal kami sudah merencanakan akan melakukan apa selama libur lebaran nanti, dan akan kemana saja. Tetapi apalah daya, kami hanya bisa mengobati rindu dengan video call. 
Alhamdulillah, tidak apa-apa belum bisa berkumpul, yang penting semua keluarga sehat selalu dan kita bisa terhindar dari segala macam musibah. Tidak bisa pulang bukan berarti tidak bisa membuat lebaran ini menjadi menyenangkan, karena kita selalu punya ribuan cara untuk berbahagia. 

Selamat lebaran semuanya. Salam dari kami di rantauan. Semoga segala doa baik diijabah tahun ini dan kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun depan. 

Nb:
Video editan ala-ala saya dengan menggunakan aplikasi video editor Inshot dan beberapa filter di story instagram. 

Lagu: You Are My Sunshine cover by Jasmine Tompson and Deneb

Minggu, 24 Mei 2020

Tidak Ada Opor di Lebaran Tahun Ini

Ketika menuliskan ini saya sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja. Rasanya seperti ingin menyanyikan lagunya BCL yang, "Kuingin marah melampiaskan, tapi kuhanyalah sendiri di sini." Rasanya ingin menyanyi keras-keras sambil berteriak di telinga orang-orang yang begitu bebal diberitahu untuk #dirumahsaja. Ingin berteriak di telinga pemerintah yang terlalu santai menangani pandemi ini. Dan ingin berteriak kepada diri sendiri yang belum bisa mengikhlaskan diri karena tidak bisa lebaran di rumah. 
Video Call dengan Abil, adek bontot yang lagi di China

Sedih sekali melihat postingan di twitter maupun facebook, orang-orang ramai memenuhi pusat perbelanjaan, berbelanja baju, saling berdesak-desakkan, seolah-olah baju baru lebih penting dari ketakutan akan tertular covid-19. Ketika beberapa orang menahan diri untuk tidak kemana-mana, tetapi banyak orang lainnya tanpa rasa bersalah malah berdesak-desakkan memilih baju terbaik yang akan digunakan di hari raya nanti. Rasanya seperti dikhianati seorang kekasih. Ketika kita mencoba bertahan untuk setia, tetapi dia dengan asyiknya jalan dengan selingkuhan. Ingin marah, tapi ah sudahlah. Yang tersisa hanya rasa lelah dan kecewa yang sangat. Memang benar apa kata Bapak, disaat seperti ini yang kita miliki hanya dua, sabar dan syukur. Bersabar agar bisa melalui musibah ini dengan lapang dada. Bersyukur karena sampai detik ini kita masih diberikan nikmat kesehatan dan rejeki oleh Allah SWT. Mau marah sampai bagaimana pun juga percuma. Tidak ada guna. Masyarakat Indonesia terlalu bar-bar untuk diberitahu. 

Selasa, 19 Mei 2020

Bukan Cerita Jalan-jalan

Selama beberapa bulan sejak kasus pertama covid-19 ditemukan di NTB, akses masuk ke Sumbawa Barat, tempat saya tinggal sekarang diperketat. Hanya masyarakat yang ber-KTP KSB, bahan pangan, logistik dan hal yang bersifat darurat saja yang boleh memasuki KSB. Apalah daya anak rantau seperti saya ini. Ramadhan benar-benar saya habiskan sendiri di kampung orang. 

"Ikut yuk ke Sekongkang." Watsapp Mbak Erma siang itu. Mbak Erma adalah salah satu teman saya di KSB, beliau juga asli Sumbawa dan sudah setahun ini tinggal di KSB. Kami sama-sama Guru TK dan lulus seleksi CPNS 2018 yang lalu. 
"Ngapain Mbak?"
"Ke tempat Kak Ari."
"Ayo dah." Saya tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ajakan Mbak Erma. Sebagai anak rantau yang hanya sendirian di kosan, mengunjungi kosan atau rumah teman menjadi salah satu cara untuk mengobati kebosanan dan rindu akan rumah. 
Setelah bersih-bersih kosan, dan cuci baju, saya akhirnya berangkat ke kos Mbak Erma. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 30 menit perjalanan dari kos saya. Saya tinggal di Kecamatan Brang Ene, dan Mbak Erma di Kecamatan Jereweh, sedangkan kita akan berangkat ke Kecamatan Sekongkang. Main kita sudah antar Kecamatan ini. Hahahhahaha. 

Satu hal yang saya syukuri. Walau sudah ada yang positif Covid-19 di KSB, tetapi daerah ini termasuk dalam kategori aman. Beberapa kecamatan masih dalam zona hijau. Jadi kita tetap bisa berpergian ke daerah-daerah di dalam KSB, asalkan tetap menjaga protokol kesehatan. Menggunakan masker kemana pun kita pergi. 
Jalan menuju ke Sekongkang

Jumat, 24 April 2020

Tidak Ada Sepat di Ramadhan Ini

Foto keluarga di ramadhan tahun 2018 yang lalu

Satu bulan sejak saya berangkat kuliah ke Mataram dulu, Ibu absen masak makanan yang saya suka. Sepat, satu makanan yang paling saya suka. Makanan khas Sumbawa dengan bahan dasar ikan bakar, daun ruku (sejenis daun kemangi), belimbing wuluh dan bumbu-bumbu khasnya yang amat segar membuat makan bisa khilaf.
Pernah suatu ketika, Ibu masak makanan itu, dikarenakan protes dari adik-adik yang tidak pernah memakan sepat sejak saya kuliah di Mataram. Dari ikan dibakar, sampai sepat tersaji di meja, Ibu menangis. Yang ada dalam kuah sepat itu adalah bayangan muka saya yang begitu lahap ketika makan. 
"Bisa ndak ya Mbakmu makan ini di sana." Gumam Ibu setiap masak makanan yang saya suka di rumah. 
Ketika Huda pergi kuliah, Ibu juga seperti itu. Kita semua absen makan makanan enak. Setiap hari hanya ada tahu, tempe, sayur bening dan sambal tomat. Selama satu bulan, harap bersabar dengan makanan yang itu-itu saja. 
Pun ketika Fikri dan Abil pergi kuliah. Jangan harap akan merasakan singang, sepat, tumis tongkol, dan semua makanan kesukaan yang biasa Ibu masak.
"Bisa ndak ya adikmu makan-makanan seperti ini."


"Perihal rindu. Seterbiasa-biasanya orang dengan itu, tetap tidak akan terbiasa. Akan ada satu momen di mana dia akan tiba-tiba meledak. Seperti merapi yang menumpahkan semua larvanya, meluluhkan benteng pertahanan yang telah dibangun kokoh. Tak akan ada yang terbiasa dengan rindu."

Rabu, 15 April 2020

Sembalun: Akhir untuk Awal Perjalanan

Tiu Dewi Selendang
Bagi saya, atau mungkin mereka yang pernah menghabiskan banyak waktu dan hidupnya di Lombok, Lombok itu bukan hanya sebuah pulau, tetapi lebih dari itu semua, Lombok menyimpan banyak cerita, kenangan, dan perjalanan. Lombok itu adalah sebagian hidup saya.

Pernah ada saat ketika anak perempuan itu, tanpa tahu apa-apa, nekat melakukan perjalanan pertama kalinya ke suatu desa di Lombok, hanya dengan bermodalkan motor mio butut yang ketika melewati tanjakan, maka yang dibonceng harus turun mendorong. Pernah juga anak perempuan itu, ketika sedang dilanda kebosanan dengan skripsi, datang ke desa itu hanya untuk menikmati udara segarnya yang seketika bisa menghilangkan penat, memetik buah strawberry, kemudian pulang. Anak perempuan itu telah melakukan banyak perjalanan di Lombok. Saat itu, ia tak punya apa-apa, hanya modal motor dan percaya bahwa "perjalanan ini akan baik-baik saja". Sekarang anak perempuan itu sedang terjebak di dalam kurungan ruangan 3x4 meter, menikmati rutinitas datang jam delapan, pulang jam empat, keluar kandang jika ada pekerjaan yang harus dituntaskan saja. Anak perempuan itu berkhayal ingin menuntaskan perjalanannya yang belum selesai, tapi ia takut, ia tak seberani dulu lagi. Kasihan sekali dia.
-.-.-.-

Setelah sekian lama, akhirnya anak perempuan itu akhirnya melakukan perjalanan ke Lombok lagi. Perjalanan kali ini bukan perjalanan seorang anak perempuan dengan mio bututnya.  Tetapi perjalanan mengobati rindu, mengingat kembali setiap jengkal perjalanan di Lombok dulu, perjalanan-perjalanan yang membuat dia bisa sekuat sekarang. Setiap jalan yang dilewati  seperti menampilkan adegan panjang tentang perjalanan-perjalanannya kala itu. 
"Di jalan itu motor kita pernah mogok dan ndak ada satu pun yang bantu."
"Pernah motoran sendirian, Mataram-Sumbawa, hujan dan uang hanya cukup buat bensin dan tiket kapal."
"Pernah menggembel di masjid."
Dan banyak kenangan perjalanan, yang jika diingat lagi sekarang saya merasa bahwa "Gila Lulu, berani juga dulu kamu ya."
-.-.-.-