Sabtu, 03 Desember 2016

Kau Bisa Pulang (Bagian 3)


Pagi di Bukit Kenawa


Jam 5 pagi aku sudah bangun, dan langsung menghampiri Ibu yang sedang sibuk di dapur. Aku mencoba mengambil hati beliau, dengan membantu memotong-motong sayur, dan mencuci semua piring-piring kotor. Beliau sudah tahu apa yang aku inginkan, jika melihatku mendadak rajin seperti ini.
“Kata Bapakmu, kamu boleh pergi, asal hati-hati kalau bawa motor.”
Kata-kata izin Ibu langsung membuatku berteriak kegirangan dan memeluk beliau. Selesai mencuci piring, aku langsung packing semua barang-barang yang aku butuhkan, kamera dan HP tak lupa aku cas, tripod aku cek ulang. Perjalanan seru kita akan segera dimulai. Jum’at jam 8 pagi kita berangkat. Semua perlengkapan sudah masuk ke ransel. Ranselku menjadi yang paling berat dan merepotkan, dengan tripod menggantung disisi kiri dan kamera di sisi kanan. Tak lengkap kemana-mana tanpa membawa kamera dan tripod, tak usah ada perjalanan jika tidak bersama dua benda itu. Perjalanan kita lumayan jauh dan memakan waktu yang lama, sekitar 3 jam baru sampai Taliwang, itu pun dengan kecepatan yang super, kalau menggunakan standar kecepatanku yang hanya 60km/jam, mungkin bisa sampai 4 atau 5 jam di jalan. Aku membonceng Iis, dia mengenakan rok dan tak ingin duduk laki-laki di motor, jadi aku mesti ekstra hati-hati dan sabar dalam megendarai motor. Putry dibonceng Kak Adit, kakak laki-lakinya, dan hanya Ginty yang tak memiliki boncengan. Belum setengah perjalanan aku sudah merasa amat kelelahan, jalan Sumbawa yang berkelok-kelok ditambah lagi dengan membonceng dengan posisi duduk seperti itu semakin membuat aku kelelahan dan ekstra hati-hati dalam mengendarai motor, ingin rasanya aku meminta Iis untuk mengubah posisi duduknya seperti duduk laki-laki, tapi aku yakin dia tak akan mau.  Putry pun berkali-kali mengatakan ke Iis supaya mengganti posisi duduknya, tapi dia mengatakan sudah terbiasa dengan duduk seperti ini. Seandainya dia bisa merasakan betapa susah dan lelahnya mengendarai motor dengan membonceng seperti itu. Dari SMA hingga sekarang aku serasa menjadi ojek pribadi Iis, dia tidak bisa mengendarai motor, jadi akulah yang menjadi soulmate-nya kemana-mana. Dia menyenangkan dalam beberapa hal tetapi menjadi sangat menyebalkan dalam beberapa hal juga, terutama ketika keras kepalanya mendadak mucul. Seperti saat ini, ketika dia mengatakan tak mau duduk laki-laki, maka sampai nanti pun dia tak akan mau mengubah posisi duduknya. Terkadang pilihan itu menuntut konsekuensi sabar dari yang lain, maka aku harus melapangkan hatiku untuk bersabar kali ini.

Jumat, 02 Desember 2016

Kau Bisa Pulang (Bagian 2)



 
kita
“Kamu bisa jadi guide tour-ku? Aku mau pulang ke Sumbawa minggu depan.” Bunyi sms Putry yang membuatku langsung berjingkrak gembira. Sepertinya radar hati kita sama saat ini, aku sedang didera kebosanan yang amat sangat, dan perjalanan ini akan menjadi begitu menyenangkan.
“Dengan senang hati, Thy, gak sabar nunggu kamu disini.”
            Tidak ada hal yang begitu membahagiakan ketika mendengar kau akan pulang. Walau cuma beberapa hari, tapi aku berharap pertemuan itu menjadi pengobat kerinduan kita yang mendalam. Aku berharap perjalanan kita besok bisa menjadi pelepas penat selama bekerja di kantor. Aku jadi tidak sabar menunggu setiap cerita yang tersaji dalam perjalanan kita nanti.
Putry sampai di Sumbawa hari ini, dan kita berencana akan berkumpul di rumah Elly. Ketika aku tiba di rumah Elly, semua teman-teman sudah berkumpul. Dari dulu hingga sekarang, dari zaman Elly belum menikah, sampai dia punya suami dan anak, markas berkumpul kita tak pernah berubah, selalu dirumahnya. Yang terlihat berbeda diantara kita semua hanyalah Elly dengan perut besarnya. Mataku menyapu seluruh ruangan, mencari makhluk yang bernama Putry. Adegan yang terjadi selanjutnya sangat tidak romantis, bukan seperti di drama-drama korea dengan adegan yang melowdrama-nya, tapi ini seperti pertemuan teletubbies, Lala dan Pho yang berpelukan. Kita sama-sama memiliki badan dengan stok daging yang lumayan. Sore ini kita habiskan dengan bercerita banyak hal, tentang pengalaman-pengalaman Putry selama di Jogja, tentang cerita Elly dengan kehamilan anak keduanya, tentang Maria dan Iis yang lagi sibuk dengan skripsinya, tentang Ginty yang gagal move on dengan mantan pacarnya yang sudah dipacari selama 7 tahun. Inilah alasan mengapa pertemuan itu tidak boleh terlalu sering, agar kita memiliki banyak waktu untuk saling mendengarkan dan merindukan satu sama lain.
“Jadinya besok kita kemana?”
“Ke Pulau Moyo aja, Lu, kan kamu sudah pernah kesana, kamu pasti tahu banyaklah tentang pulau itu.” Putry menyarankan liburan kita ke Pulau Moyo.
“Aku sih ndak masalah, yang penting namanya jalan-jalan, ayoklah, hehe.”
“Kamu ya, Lu, kalau kita ajak kumpul aja ndak pernah bisa, tapi kalau jalan-jalan pasti bisa, dan rela izin kantor demi jalan-jalan.” Iis yang dari tadi lebih banyak diam menimpali kami, dan diiringi gelak tawa yang lain.
“Masalahnya Putry maunya aku yang keren ini jadi guide-nya, gimana dong??” Mereka kompak menyorakiku dengan kor ‘uuuu’ yang sama. Inilah momen-momen yang kita rindukan, dimana kita bisa berkumpul dan bercanda bersama seperti ini. Kita bersepakat ke Pulau Moyo besok.
Terkadang apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain, sama halnya dengan saat ini, ketika aku meminta izin kepada Bapak tentang keberangkatan ke Pulau Moyo, Bapak langsung menolak memberikan izin, katanya ombak lagi besar dan berbahaya melakukan penyebrangan. Setengah mati aku merayu Ibu dan Bapak agar aku diberikan izin, sampai memakai jurus ngambek masuk ke kamar tetapi beliau tetap pada pendiriannya. Aku memberitahu Putry dan Iis bahwa aku tak diberikan izin kalau ke Pulau Moyo, dan ternyata mereka berdua juga bernasib sama denganku. Setelah berunding lewat sms, kita akhirnya setuju untuk ke Taliwang, Sumbawa Barat, disana ada banyak pantai indah nan eksotisnya yang bisa kita kunjungi. Aku mengatakan kepada Bapak kalau kita tidak jadi ke Pulau Moyo, tapi beliau tetap tidak memberikan izin. Beliau menggunakan alasan kecewa denganku yang mengambil izin kantor hanya untuk jalan-jalan. Intinya semua alasan penolakan yang disampaikan Bapak adalah agar aku tidak pergi jalan-jalan jauh, apalagi sampai keluar kota Sumbawa.


“Pak, saya sudah besar, sudah umur segini masih saja dilarang-larang mau kemana, kan tumben juga kita keluar. Ayolah Pak, jarang-jarang bisa kumpul dengan teman-teman SMA kita.” Aku berusaha meyakinkan Bapak agar diberikan izin. Tetapi Bapak hanya diam, dengan mata yang tak beralih dari layar TV. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku tak bisa pergi besok, karena akulah yang menjadi otak dari rencana-rencana liburan itu. Ibu mengerling ke arahku, memintaku untuk segera masuk ke kamar kembali. Dalam situasi seperti ini, sama-sama bersikeras tidak akan membuat Bapak mengiyakan apa yang aku inginkan. Aku masuk ke kamar, menarik selimut dan tidur, berharap malam ini ada malaikat baik hati yang mencolek hati Bapak untuk memberikanku izin liburan besok. 

Kamis, 01 Desember 2016

Kau Bisa Pulang (Bagian 1)



 
kopi dan senja
Tentang sore, laut dan matahari orange. Sepenggal kata antara aku dan kamu. Tidak ada sore yang begitu indah di kota ini selain menghabiskan waktu dengan menenggak segelas kopi panas dengan celupan roti roma kesukaanmu. Lalu kita akan bercerita seenaknya tentang apa saja yang terlintas dipikiran kita. Seperti percakapan kita di sore itu, bisakah para ilmuwan menciptakan pintu kemana saja Doraemon. Aku mengatakan mustahil. Tapi kamu ngotot, bisa.
“Dalam bentuk nyata, tidak mungkin ada yang bisa membuat pintu kemana saja. Tapi zaman sekarang semua tanpa sekat yang bernama pintu. Kamu bisa tahu tentang Amerika tanpa harus datang kesana langsung, kamu bisa tahu bagaimana cara membuat tahu tanpa harus bereksperimen dan wawancara si pembuat tahu. Kamu tahu bahwa ada banyak hal yang kamu tidak tahu karena itu.”
“Terus?”
“Baca, Lu, baca. Buku ada dimana-mana, internet merajalela. Kamu bisa tahu segala hal dengan mencari di internet. Kamu bisa kemana saja dengan google. Bagiku itu wujud lain dari pintu kemana saja. Mau ke capadocia? Bisa. Tinggal cari di google. Gampang kan?” Dia masih keukeuh dengan Google dan internet adalah wujud lain dari pintu kemana saja. Dunia tanpa sekat karena makhluk itu, tak ada pintu, tak ada pembatas yang menghalangi semua orang. Orang di kutub utara bisa berteman dengan orang di Afrika tanpa harus mengunjungi, mereka bisa bertatap muka tanpa harus bertemu raga. Semuanya karena kecanggihan internet. Dia juga keukeuh supaya pembuat komik Doreamon diberi penghargaan karena menciptakan cerita yang menginspirasi orang untuk think out the box. Ini bukan penyakit gila Andrea Hirata, tetapi aku sudah cukup gila mendengar pikiran-pikiran anehnya. Seperti cerita percakapan-percakapan kita terdahulu, tidak akan ada akhir sebelum matahari di ufuk barat itu menghilang ditelan ombak tenang kota.
Tentang sore, laut dan matahari orange. Sepenggal cerita tentang aku dan kamu. Jika ada yang bertanya padaku dimana pantai terindah di Sumbawa, aku tidak tahu. Aku tidak mengenal dimana pantai indah nan eksotis disini. Yang aku tahu hanyalah rute sekolah, rumah, sekolah, rumah. Tapi jika ada yang bertanya padaku dimanakah pantai yang bagus untuk menikmati matahari terbenam di Sumbawa, maka aku akan dengan senang hati mengajaknya ke pantai ini. Pantai dengan sebuah dermaga kecil ditengahnya, pantai dengan jejeran kapal-kapal nelayan, pantai dengan riuh suara anak-anak bermain bola setiap sorenya, pantai dengan ribut suara pedagang yang menjajakan jualannya, pantai dengan matahari tenggelam indah tepat ditengahnya. Tak ada pasir putih seperti bayangan pantai Kuta Bali, yang ada hanya pasir hitam dengan sampah-sampah yang terhempas setiap ombak datang. Tak ada wisatawan asing seperti di Gili Trawangan, yang ada hanyalah nelayan-nelayan berotot kekar yang setiap sorenya membersihkan kapalnya dan jaring-jaringnya untuk bisa dipakai melaut esok. Kadang jika beruntung, kita bisa menyaksikan pertunjukkan piring melayang keluar rumah, gelas-gelas pecah. Pertengkaran suami dan isteri karena hasil melaut yang kurang, karena uang tak cukup untuk makan besok, pertengkaran-pertengkaran yang seharusnya kecil tetapi melebar karena semua menyangkut urusan perut, tak ada orang yang bisa berfikir rasional ketika perut dalam keadaan lapar. Beruntung menyaksikan ini, setidaknya kita bisa berfikir bahwa ada kehidupan yang jauh terpuruk dari apa yang kita rasakan. Sore, laut, dan matahari orange, tidak melulu tentang keindahan yang membuat kita mensyukuri nikmat Allah, kehidupan mereka disekelilingmu membuat banyak kata syukur atas hidup ini tak henti-hentinya keluar dari mulut. Lebih dari itu, di pantai ini kita pernah bersama, menghabiskan sepotong sore disini.
Tentang sore, laut dan matahari orange. Kita berjanji disini. Sejauh apapun kita pergi kita akan kembali pulang.