Jumat, 24 April 2020

Tidak Ada Sepat di Ramadhan Ini

Foto keluarga di ramadhan tahun 2018 yang lalu

Satu bulan sejak saya berangkat kuliah ke Mataram dulu, Ibu absen masak makanan yang saya suka. Sepat, satu makanan yang paling saya suka. Makanan khas Sumbawa dengan bahan dasar ikan bakar, daun ruku (sejenis daun kemangi), belimbing wuluh dan bumbu-bumbu khasnya yang amat segar membuat makan bisa khilaf.
Pernah suatu ketika, Ibu masak makanan itu, dikarenakan protes dari adik-adik yang tidak pernah memakan sepat sejak saya kuliah di Mataram. Dari ikan dibakar, sampai sepat tersaji di meja, Ibu menangis. Yang ada dalam kuah sepat itu adalah bayangan muka saya yang begitu lahap ketika makan. 
"Bisa ndak ya Mbakmu makan ini di sana." Gumam Ibu setiap masak makanan yang saya suka di rumah. 
Ketika Huda pergi kuliah, Ibu juga seperti itu. Kita semua absen makan makanan enak. Setiap hari hanya ada tahu, tempe, sayur bening dan sambal tomat. Selama satu bulan, harap bersabar dengan makanan yang itu-itu saja. 
Pun ketika Fikri dan Abil pergi kuliah. Jangan harap akan merasakan singang, sepat, tumis tongkol, dan semua makanan kesukaan yang biasa Ibu masak.
"Bisa ndak ya adikmu makan-makanan seperti ini."


"Perihal rindu. Seterbiasa-biasanya orang dengan itu, tetap tidak akan terbiasa. Akan ada satu momen di mana dia akan tiba-tiba meledak. Seperti merapi yang menumpahkan semua larvanya, meluluhkan benteng pertahanan yang telah dibangun kokoh. Tak akan ada yang terbiasa dengan rindu."

Rabu, 15 April 2020

Sembalun: Akhir untuk Awal Perjalanan

Tiu Dewi Selendang
Bagi saya, atau mungkin mereka yang pernah menghabiskan banyak waktu dan hidupnya di Lombok, Lombok itu bukan hanya sebuah pulau, tetapi lebih dari itu semua, Lombok menyimpan banyak cerita, kenangan, dan perjalanan. Lombok itu adalah sebagian hidup saya.

Pernah ada saat ketika anak perempuan itu, tanpa tahu apa-apa, nekat melakukan perjalanan pertama kalinya ke suatu desa di Lombok, hanya dengan bermodalkan motor mio butut yang ketika melewati tanjakan, maka yang dibonceng harus turun mendorong. Pernah juga anak perempuan itu, ketika sedang dilanda kebosanan dengan skripsi, datang ke desa itu hanya untuk menikmati udara segarnya yang seketika bisa menghilangkan penat, memetik buah strawberry, kemudian pulang. Anak perempuan itu telah melakukan banyak perjalanan di Lombok. Saat itu, ia tak punya apa-apa, hanya modal motor dan percaya bahwa "perjalanan ini akan baik-baik saja". Sekarang anak perempuan itu sedang terjebak di dalam kurungan ruangan 3x4 meter, menikmati rutinitas datang jam delapan, pulang jam empat, keluar kandang jika ada pekerjaan yang harus dituntaskan saja. Anak perempuan itu berkhayal ingin menuntaskan perjalanannya yang belum selesai, tapi ia takut, ia tak seberani dulu lagi. Kasihan sekali dia.
-.-.-.-

Setelah sekian lama, akhirnya anak perempuan itu akhirnya melakukan perjalanan ke Lombok lagi. Perjalanan kali ini bukan perjalanan seorang anak perempuan dengan mio bututnya.  Tetapi perjalanan mengobati rindu, mengingat kembali setiap jengkal perjalanan di Lombok dulu, perjalanan-perjalanan yang membuat dia bisa sekuat sekarang. Setiap jalan yang dilewati  seperti menampilkan adegan panjang tentang perjalanan-perjalanannya kala itu. 
"Di jalan itu motor kita pernah mogok dan ndak ada satu pun yang bantu."
"Pernah motoran sendirian, Mataram-Sumbawa, hujan dan uang hanya cukup buat bensin dan tiket kapal."
"Pernah menggembel di masjid."
Dan banyak kenangan perjalanan, yang jika diingat lagi sekarang saya merasa bahwa "Gila Lulu, berani juga dulu kamu ya."
-.-.-.-