Rabu, 22 April 2015

Menikmati Sensasi Keindahan Pulau Paserang

Pagi di Pulau Paserang
Dering telepon membangunkan saya. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya kembali, saya mengangkat panggilan itu.
"Bangun, ndak sholat subuh???" Suara Ibu diseberang sana membuat kantuk yang tadinya menggelayut berat membebani pelupuk mata saya tiba-tiba hilang.
Astagfirullah, saya mengecek jam di tangan, pukul 05.00 Wita. Lelah yang menyelimuti kami dan suasana nyaman pulau ini membuat kami tak sadarkan diri. Padahal niatnya mau bangun pagi untuk foto sunrise. Bergegas saya membangunkan adik-adik yang masih tidur lelap.
"Dek, bangun, ayo sholat subuh dulu." Saya menepuk-nepuk pundak mereka satu persatu. Kok berasa jadi Emak-emak yang lagi membangunkan anak-anaknya ^_^. Tidak butuh waktu lama untuk membuat mereka terbangun. Membersihkan diri sejenak, kemudian sholat berjamaah. Debur ombak yang tenang, angin yang berhembus perlahan, menambah suasana syahdu pagi ini. Jaket semakin saya eratkan untuk menghangatkan tubuh. Dingin dan suasana nyaman pagi ini sebenarnya membuat kantuk itu semakin menjadi-jadi, tapi sunrise tidak mungkin menunggu kami: waktu terus berlalu. 
***
"Lho bukannya ada trotoarnya ya??" Saya terheran-heran dengan jalan yang kita lewati, tidak ada setapaknya sedikit pun. Di blog beberapa teman, terlihat foto berupa jalan trotoar yang mengarahkan kita menuju atas bukit Pulau Paserang.
"Saya kurang tau Kak, dimana letak jalan trotoarnya, kemarin kita nyampenya pas gelap jadi belum sempat jalan-jalan." Dika mengklarifikasi. Dika dan Fajri terlebih dahulu naik ke bukit, mereka mau mengecek seperti apa kondisi jalannya, memungkinkan atau tidak untuk dilalui oleh kita (baca: kaum perempuan). Bukitnya tidak begitu terjal, ilalangnya yang tumbuh tinggi menjadi penolong kita. Ilalang itu yang menjadi pegangan kita untuk bisa mendaki bukitnya. Duri dari pohon-pohon kecil yang tumbuh liar sekitar bukit membuat kaki lecet. Selalu ada perjuangan dibalik perjalananan. Ada jalan yang cantik mulus, tapi karena ketidak tahuan tentang jalan itu membuat kita mendaki melalui jalan yang sama sekali tak enak. Tapi nikmatilah, kawan.
Rinjani dari atas Bukit Paserang
Fahmi

Selasa, 21 April 2015

Berakhir Pekan ke Pulau Paserang Bersama Elang-elang Muda

Elang-elang Muda UTS

"Kita cek biota laut Pulau Paserang. Jalan-jalan dan penelitian. Sesekali kita perlu untuk keluar dari Laboratorium itu, hehehe" Kata saya waktu itu ketika mulai meracuni mereka tentang ajakan jalan-jalan akhir pekan ini.
"Iya Kak Lulu, saya mau. Nanti saya ajak teman-teman yang lain lagi." Fahmi sangat antusias dengan ajakan ini. Dia baru pulang magang dari NIMS Jepang. Rutinitas di Laboratorium tentu saja membuatnya jenuh, dan refreshing akhir pekan ini bisa jadi satu obatnya. Tidak disangka, tawaran iseng-iseng saya berbuah manis. Fahmi dan kawan-kawan teracuni untuk mengunjungi pulau itu. Yeayyy. Ini kali pertama bagi saya jalan bersama adik-adik di Universitas Teknologi Sumbawa. Berasa jadi mahasiswa lagi jalan dengan mereka yang masih kyut hehehe. Elang-elang muda adalah sebutan bagi mahasiswa UTS, dengan harapan mereka bisa menjadi elang yang kuat dan perkasa dan terbang ke seluruh penjuru dunia.
Perjalanan Menuju Paserang
Pulau Paserang. Satu diantara banyak pulau eksotis yang terhampar di lautan sekitar Poto Tano: Gerbang masuk Pulau Sumbawa. Beberapa kali teman-teman mengajak saya untuk berakhir pekan disana, dan beberapa kali pula selalu ada hal yang tak terduga yang membuat saya tidak bisa memenuhi ajakan mereka. Selain spot snorklingnya terbaik di Sumbawa, ilalangnya juga sedang cantik-cantiknya, hijau. Mungkin kemarin itu memang belum waktunya.
"Lu, jangan lupa cek dulu angin ban motormu itu. Kata Bapak tadi bannya kempes itu." Ibu mengingatkan saya.
"Iya Bu, sudah kok." Saya menjawab sambil menaikkan barang-barang bawaan saya ke atas motor. Segala panci, piring, sendok, gelas, tak luput dari perhatian saya. Memastikan tidak boleh ada yang ketinggalan, hatta satu barang pun. Tak lupa snorkel juga masuk ke dalam tas. Tidak membawa alat snorkling ke Paserang sama artinya dengan tidak membawa uang ke pasar: tidak ada gunanya. Tidak seperti biasanya Ibu tidak banyak berkomentar dengan kepergian saya keluar rumah kali ini, biasanya beliau akan banyak tanya ini dan itu. Mungkin Ibu saya mulai paham kalau anaknya sudah beranjak dewasa ^_^
Kampung nelayan di Poto Tano
kampung nelayan di Poto Tano, landscapenya amazing :D
Pukul 13.30 Wita semua pasukan telah berkumpul dan kita pun melanjutkan perjalanan menuju Poto Tano. Memakan waktu sekitar kurang lebih dua jam dari pusat Kota Sumbawa untuk menuju Poto Tano. Ada delapan pulau kecil nan eksotis yang tersebar di sekitar Poto Tano Sumbawa. Pulau Kenawa menjadi satu destinasi andalan Sumbawa, kemudian Pulau Paserang menyusul. Hampir setiap akhir pekan Pulau Kenawa selalu ramai dikunjungi wisatawan dalam maupun luar Sumbawa. Seperti sore ini saja, puluhan orang sudah berkumpul di dermaga penyebrangan kampung Poto Tano untuk menuju kesana. Untuk menuju ke Pulau Paserang kita bisa menyewa kapal yang dimiliki nelayan di Kampung Poto Tano. Harga sewanya sekitar Rp. 400.000 hingga Rp. 450.000 (Tips, alangkah bagusnya jika perjalanan ke pulau-pulau kecil di Sumbawa dengan teman yang banyak, supaya sharing cost sewa kapalnya pun sedikit). Akhir pekan menjadi berkah tersendiri bagi nelayan di Poto Tano. Kapalnya beralih fungsi, dari yang biasa dijadikan untuk menangkap ikan menjadi kapal angkut pengunjung ke pulau-pulau kecil itu.
"Pak mahal sekali sewa kapalanya. Bisa diturunkan sedikit ndak?? Hehehe" Saya mencoba lobi-lobi si Bapak yang juga kenalan saya ketika berkunjung ke Kenawa beberapa waktu yang lalu.
"Pulau Paserang jaraknya lumayan jauh dek, tidak seperti Kenawa. Berapa orang yang pergi??"
"Kita berdelapan, pak."
"Yasudah buat kalian Rp. 400.000 aja dah."
"Boleh pak, tapi nanti setelah ke Paserang mampir ke Kenawa juga, boleh??"
"Iya, memang rutenya seperti itu dek. Kalau ke Paserang, kita kasi bonus mampir ke Kenawa."
Yes, asyiklah kalau begitu. Seperti buy one get two. Beli satu dapat dua. Adik-adik UTS excited sekali dengan perjalanan pertama mereka ini. Ketika sampai di dermaga kampung Poto Tano mereka sudah 'teriak-teriak' tidak sabaran untuk menikmati pengalaman petualangan yang akan mereka lalui.

Kamis, 16 April 2015

Sarkofagus: Napak Tilas Sumbawa Dahulu Kala


jalan yang berbatu, membuat kita ekstra hari2

Berkali-kali saya harus turun dari motor yang saya tumpangi untuk melewati jalanan yang penuh perjuangan ini. Jalan antimainstream yang tidak biasa membuat motor harus didorong.  Tanjakan dengan batuan lepas yang sangat menakutkan selalu menghadang di perjalanan kami menuju tempat bersejarah itu.
“Orang yang berhasil ke Sarkofagus dengan selamat sepertinya harus diberikan penghargaan khusus.” Celoteh Bang Fathul, saking ekstrimnya jalan menuju lokasi itu.
“Kalau kita berhasil ke Sarkofagus berarti Tepal di depan mata dong ya.” Saya menambahkan.
Saya mengira jalan menuju Ai Beling adalah yang paling ekstrim yang ada di Sumbawa, ternyata kenyataan itu terbantahkan ketika saya kesini. Peluh membanjiri wajah, bahkan penampilan pun sudah tidak jelas seperti apa bentuknya. Jilbab mencong sana mencong sini. Subhan harus berjuang keras mendorong motor dengan dibantu Candra dibelakangnya. Badan Subhan yang lumayan ‘subur’ membuatnya berjuang dengan semangat dan tenaga ekstra. Si Bapak penjaga sarkofagus yang kita temui di jalan tadi juga ikut membantu, membersihkan batu-batu besar yang menghalangi perjalanan kami.
Sarkofagus atau kuburan batu ini terletak di Situs Ai Renung, di Batu Tering, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa. Sekitar 30 km dari pusat Kota Sumbawa.
Subhan dibantu candra dengan sekuat tenaga mendorong motor dijalanan yang menanjak
ayo bang Fathul semangaaaaat!!! :D

Rabu, 15 April 2015

Basiru: Wujud Tolong Menolong Masyarakat Sumbawa

suasana di persawahan Batu Alang

Matahari sedang cerah-cerahnya. Awan juga terlukis indah dengan paduan biru langit yang menggoda. Sempurna sebagai padanan foto landscape hari ini. Saya memacu motor dengan kecepatan biasa-biasa saja sembari menengok kiri dan kanan, siapa tahu ada pemandangan yang asyik untuk diabadikan. Beberapa orang ibu-ibu terlihat berjalan beriringan. Ada yang memanggul bakul dengan isian yang terlihat penuh dari luar. Ada juga yang menggunakan topi caping khas petani dengan kerucut diatasnya. Mereka terlihat sibuk membawa barang bawaannya masing-masing, ditambah lagi dengan kerepotan mengurus anak-anak kecil mereka yang mengekor dibelakang. Satu yang menjadi kesamaan ibu-ibu tersebut yaitu seme’ yang melekat erat diwajah mereka. Seme’ dengan warna kuning pekat yang mentereng.  Seme’ adalah lulur tradisional khas Sumbawa. Para petani khususnya kaum perempuan selalu menggunakan seme’ jika turun ke sawah, itu bertujuan untuk menjaga kulit wajah dari paparan sinar matahari langsung.
Pemandangan itu membuat saya menghentikan laju motor saya.

Minggu, 05 April 2015

Mata Jitu: Sekeping Surga di Tanah Sumbawa

Selamat datang di Pulau Moyo
Ketika menyebut Sumbawa, bayangan tentang keindahan Pulau Moyo pasti langsung terlintas di pikiran. Wajar saja, karena Pulau Moyo adalah satu dari sekian banyak kepingan surga yang terhampar di tanah Sabalong Samalewa ini. Saya jatuh cinta dengan Pulau Moyo pada pandangan pertama. Segala keindahan yang tersaji disana membuat saya rindu untuk kembali, lagi dan lagi. Snorkling di lautannya yang jernih nan cantik, berendam di Mata Jitu, atau sekedar menghabiskan malam dengan kemah di pinggir pantainya yang indah adalah satu dari sekian sensasi perjalanan yang ditawarkan Pulau Moyo.
kampung Labuan Aji Pulau Moyo
Penyebrangan menuju ke Pulau Moyo hampir setiap hari selalu tersedia di pelabuhan-pelabuhan Sumbawa, terutama melalui jalur penyebrangan di Pelabuhan Kampung Pasir atau Boa Brang. Setiap harinya akan ada masyarakat dari Labuan Aji Pulau Moyo yang akan menuju ke Sumbawa untuk membeli segala kebutuhan hidupnya, sepulangnya dari berbelanja kita bisa ikut nyebrang bersama perahu mereka. Bisa juga melalui Desa Ai Bari, desa nelayan yang terletak di Kecamatan Moyo Utara. Ada banyak nelayan yang menyediakan penyebrangan ke Pulau Moyo, saya biasanya menggunakan jasa penyebrangan milik Bapaknya Ichal, Pak Yakub. Selain harganya terjangkau di kantong, orangnya juga ramah dan supel, sehingga perjalanan selalu menyenangkan jika bersama beliau.
Waktu penyebrangan dari Sumbawa ke Pulau Moyo adalah sekitar dua jam, bisa juga lebih tergantung dari kondisi cuaca. Jika kondisi lautnya tenang, kita bisa tiba di Pulau Moyo dalam waktu dua jam. 
Satu yang menjadi daya tarik Pulau Moyo adalah Air Terjun Mata Jitu. Air terjunnya sangat cantik dengan paduan biru dan tosca yang eksotis. Airnya sangat jernih, kalau bahasa hiperbolanya, jarum yang jatuh ke dasar Mata Jitu pasti akan terlihat. Memakan waktu kurang lebih satu jam trackking dari kampung Labuan Aji menuju Mata Jitu.

Belajar dari Sebuah Perjalanan

Kamis, 2 April 2015
Beberapa jam yang lalu saya masih berkutat dengan segala kesibukan di kampus. Rapat dengan mahasiswa, persiapan seminar dan ini itunya yang membuat kepala ini pusing tujuh keliling. Hujan juga tak kunjung mereda. Belum lagi memikirkan izin dari Ibu yang belum saya kantongi. Beberapa kali menekan keypad di HP, mencoba menuliskan sepatah dua patah kata permohonan maaf kepada teman-teman untuk tidak bisa mengikuti perjalanan ke Pulau Moyo kali ini, tetapi pesan itu saya hapus kembali. Takut teman-teman kecewa, karena saya sudah mengiyakan jauh-jauh hari sebelumnya. Jika memang ada ‘jodoh’ untuk bisa kesana, entah dengan cara apa Allah akan membawa saya kesana. Sekarang waktunya berserah diri atas segala takdir Allah, mengikuti segala rencana yang tersaji di depan. Seperti air yang mengalir mengikuti kemana aliran membawanya. Dengan segala kerendahan hatinya menerima perjalanan-perjalanan itu dengan ikhlas. Saya juga harusnya seperti itu, seperti air yang mengalir: ikhlas menerima.
Pukul 19.30 Wita
Duur, duur, duuur, duur…

Suara perahu klotok milik Bapaknya Ichal langsung memecah keheningan laut Sumbawa. Malam ini laut begitu tenang, angin pun berhembus perlahan, riak ombak malu-malu mengganggu perjalanan kami. Semesta seakan berkolaborasi menciptakan satu perjalanan  yang tak akan terlupakan bagi kami. Skenario indah yang tak terencana bagi para pejalan. Tidak ada yang kebetulah. Tentu saja. Karena sebelum kami berencana, Allah telah terlebih dahulu menuliskan segala cerita untuk kami dalam bukunya yang agung: Lauhul Mahfudz. Kami hanya eksekutor dari segala rencana-rencanaNya. Ibarat sebuah film, kami adalah artisnya, dan Allah adalah penulis skenarionya. Penulis skenario tahu mana scene yang baik untuk artisnya dan mana yang tidak.
“Gak nyangka kita jadi juga ke Pulau Moyo.” Celoteh Mbak Elly, teman di Adventurous Sumbawa yang juga menjadi otak dalam perjalanan kali ini.
“Iya Mbak, padahal tadi saya masih pusing dengan seminar-seminar di kampus. Tak kirain bakal gak jadi kita berangkatnya, hehehe.”
“Itulah rencana Allah.”
siap2 berangkat

Rabu, 01 April 2015

Mengobati Hati yang Patah di Kenawa

Menanti matahari terbenam di Dermaga Desa Poto Tano, Foto By Bang Fathul
"Memang benar apa yang mereka katakan, kalau patah hati, berjalanlah. Hati siapa yang tidak akan terhibur melihat keindahan yang sempurna ini. Kerlip nakal bintang, bulan bersinar indah, matahari yang cantik menyapa pagi dengan malu-malu, benar-benar bisa menjadi obat mujarab untuk (sedikit) melupakan kisah-kisah kemarin"
Tiba-tiba ada satu rindu yang menusuk hati ini yang membuat ingin segera kesana. Hanya sekedar menghabiskan malam dengan bintang bertaburan dan angin laut yang syahdu. Aku pernah kesana beberapa bulan yang lalu bersama teman-teman semasa SMA. Pengalaman bermalam disana membuat rasa rindu untuk kembali lagi, dan lagi. Semacam ada magnet ampuh yang menarik kaki untuk segera menjejakkan langkah kesana. Pulau Kenawa. Satu pulau kecil yang berada di barat Sumbawa. Pulau yang terkenal dengan keindahan ilalang dan mataharinya. Duduk ditepi pantai sambil menyaksikan matahari tenggelam adalah satu dari banyak sensasi romantis yang akan didapatkan di Kenawa.
***
Bintang malam ini terlihat begitu jelas. Kelap kelipnya nakal menggoda setiap yang melihat, ditambah lagi dengan bulan yang mempertunjukkan sinarnya yang teduh. Ahh, rasanya air mata ingin segera meluncur mambasahi pipi. Entahlah, aku selalu didera perasaan melankolis dengan suasana seperti ini. Teman-teman asyik bercengkrama. Aku lebih memilih menghabiskan malam dengan menikmati segelas kopi hangat, dan tentu saja mengingat segala hal tentang kamu, tentang perjalanan kita. Tentang kamu yang semakin ingin dilupakan, semakin dalam tertanam di hati ini. Tanpa aba-aba, tanpa izin, bulir bening itu menghangati pipi ini. Aku tidak mudah jatuh hati dengan seseorang, dan sekalinya jatuh hati, kemudian dipatahkan, itu sakitnya dimana-mana (nyesek).
"Woi ngapain duduk disitu, ayo ngumpul sama kita." Bang Opik mengajakkku kumpul bersama teman-teman. Oke baiklah, tentang kamu bisa dihilangkan sebentar dari pikiran ini, kan? Jangan siksa aku dengan perasaan yang aku juga tak tahu apa. Lets Move On, Luluuuuuu.... Yeyyyy...