Rabu, 15 April 2020

Sembalun: Akhir untuk Awal Perjalanan

Tiu Dewi Selendang
Bagi saya, atau mungkin mereka yang pernah menghabiskan banyak waktu dan hidupnya di Lombok, Lombok itu bukan hanya sebuah pulau, tetapi lebih dari itu semua, Lombok menyimpan banyak cerita, kenangan, dan perjalanan. Lombok itu adalah sebagian hidup saya.

Pernah ada saat ketika anak perempuan itu, tanpa tahu apa-apa, nekat melakukan perjalanan pertama kalinya ke suatu desa di Lombok, hanya dengan bermodalkan motor mio butut yang ketika melewati tanjakan, maka yang dibonceng harus turun mendorong. Pernah juga anak perempuan itu, ketika sedang dilanda kebosanan dengan skripsi, datang ke desa itu hanya untuk menikmati udara segarnya yang seketika bisa menghilangkan penat, memetik buah strawberry, kemudian pulang. Anak perempuan itu telah melakukan banyak perjalanan di Lombok. Saat itu, ia tak punya apa-apa, hanya modal motor dan percaya bahwa "perjalanan ini akan baik-baik saja". Sekarang anak perempuan itu sedang terjebak di dalam kurungan ruangan 3x4 meter, menikmati rutinitas datang jam delapan, pulang jam empat, keluar kandang jika ada pekerjaan yang harus dituntaskan saja. Anak perempuan itu berkhayal ingin menuntaskan perjalanannya yang belum selesai, tapi ia takut, ia tak seberani dulu lagi. Kasihan sekali dia.
-.-.-.-

Setelah sekian lama, akhirnya anak perempuan itu akhirnya melakukan perjalanan ke Lombok lagi. Perjalanan kali ini bukan perjalanan seorang anak perempuan dengan mio bututnya.  Tetapi perjalanan mengobati rindu, mengingat kembali setiap jengkal perjalanan di Lombok dulu, perjalanan-perjalanan yang membuat dia bisa sekuat sekarang. Setiap jalan yang dilewati  seperti menampilkan adegan panjang tentang perjalanan-perjalanannya kala itu. 
"Di jalan itu motor kita pernah mogok dan ndak ada satu pun yang bantu."
"Pernah motoran sendirian, Mataram-Sumbawa, hujan dan uang hanya cukup buat bensin dan tiket kapal."
"Pernah menggembel di masjid."
Dan banyak kenangan perjalanan, yang jika diingat lagi sekarang saya merasa bahwa "Gila Lulu, berani juga dulu kamu ya."
-.-.-.-


Januari 2018

Hawa dingin menemani perjalanan kita ke Sembalun. Sesekali celetukan lucu kita tentang apa saja yang kita lihat di perjalanan menjadi penyebab tawa. Entah kenapa selalu saja ada hal yang dikomentari selama perjalanan, tentang ini dan tentang itu, yang tentu saja akhirnya menjadi pengobat kebosanan selama perjalanan.
Jalan ke Lombok kali ini bukan hanya sekedar jalan-jalan. Niat awal ingin mengantar Mbak Tifa ke Bandara untuk pulang ke Bekasi, berakhir menjadi agenda jalan-jalan. Mbak Tifa akan melanjutkan S2 dan berhenti bekerja di UTS (Universitas Teknologi Sumbawa). Ini mungkin bisa dikatakan sebagai perjalanan perpisahan kami, karena mungkin setelah ini, tidak akan ada lagi perjalanan lagi. Sejak bekerja di UTS tahun 2014 yang lalu, Mbak Tifa selalu jadi patner terbaik saya dalam melaksanakan Respek di UTS. Bisa saya katakan, dia adalah masternya. Tanpa dia, saya tidak ada apa-apanya. Bersama Mbak Tifa, dan beberapa Ranger UTS lainnya, fyi Ranger adalah sebutan kami untuk Panitia Respek UTS yang sudah legend, dalam artian sudah menjadi panitia sejak lama. Kencana, salah satu mahasiswa UTS Angkatan 2013, yang kini menjadi adek dan teman curcol terbaik kami, juga ikut serta dalam perjalanan ini. Tak hanya Kencana, ada Masmul, Lucky dan juga Acuh. Mereka semua adalah mantan Panitia Respek UTS, patner terbaik kami dalam menyukseskan Respek selama ini.

Dari Sumbawa-Lombok, kami menggunakan motor. Sambil berboncengan, lalu mampir ke rumah kakaknya Masmul di Tete Batu, Lombok Timur. Menginap semalam disana, untuk besoknya melakukan perjalanan ke Sembalun. Entah kenapa, Sembalun selalu menjadi tempat yang menyenangkan bagi saya untuk melakukan perjalanan. Hawanya yang dingin dan letaknya tepat di bawah kaki Rinjani menjadi daya tarik tersendiri. 
-.-.-.-

Lagu dangdut sesekali di putar yang akhirnya membuat kita semua yang ada di dalam mobil itu ikut menyanyi. Jalanan Sembalun yang berkelok-kelok dengan jurang yang lumayan, tidak membuat kami ketakutan. Sepanjang perjalanan yang ada hanya tawa dan kelakar bahagia kami.
Berhenti sejenak di Pusuk untuk mengabadikan beberapa foto disana, sembari istirahat dari perjalanan yang lumayan lama.

"Ehh Masmull liat itu ada temanmu sedang makan." Cana berteriak, yang kemudian diikuti oleh tengokan kepala kita semua.  Ada beberapa monyet yang sedang makan kacang pemberian pengunjung alih-alih sebagai teman Masmul. Sontak Masmul langsung memukul bahu Cana.
Pemandangan dari atas Rumah Adat Sembalun

Ini pertama kalinya saya datang ke Sembalun sejak 2014 yang lalu. Sudah banyak yang berubah disini. Ada banyak spot-spot foto yang instagramable disini. Dulu di tanjakan ini, saya dan Nani selalu berhenti. Duduk sambil menikmati segelas kopi dan cilok. Tak ada aktivitas foto-foto. Hanya duduk menikmati kopi dan berbicara tentang lelahnya mendorong motor Mio butut saya.
Biasanya kabut akan tiba-tiba datang menghampiri kita. Saya paling suka saat kabut itu datang, rasanya seperti masuk ke dalam awan. Menghembuskan nafas, dan memperhatikan uap dingin yang keluar.
"Ni, kayak di Korea ya kita." Komentar saya.
Nani hanya tertawa memperhatikan tingkah lucu saya. Harap maklum, di Sumbawa tidak ada daerah yang seperti Sembalun. Beda dengan Nani yang tinggal di desa dan sudah sangat biasa dengan pemandangan ini.
Bingkai demi bingkai ingatan perjalanan saya ke Sembalun berdua dengan Nani dulu seketika muncul. Ada rindu yang meruak keluar.
-.-.-.-.-

Setelah puas foto-foto di Pusuk dan di Rumah Adat Sembalun, kami pun melanjutkan perjalanan ke Tiu Dewi Selendang. Air terjun ini adalah salah satu air terjun terindah yang ada di Sembalun. Hanya memakan waktu kurang lebih 30 menit dari Desa Sembalun untuk kita tiba di lokasi parkir menuju air terjun. Untuk menuju ke lokasi air terjun kita harus melewati jalan setapak yang banyak naik turunnya dan membuat nafas kami tersengal-sengal. Tak ada yang membayangkan kalau jalannya akan seperti ini. Belum lagi kita harus menyebrangi sungai, dan jalan melewati sisi sungai. Saya yang tadinya menggunakan sepatu, harus rela melepas sepatu dan jalan menginjak bebatuan yang  membuat kaki sakit.

Seperti kata orang-orang, di balik sebuah perjuangan besar, ada sesuatu yang indah sedang menunggu. Dan benar saja. Setibanya di air terjun, kami disajikan dengan pemandangan yang luar biasa indahnya. Air yang jatuh dari sela bebatuan itu begitu indah. Wajar saja disebut Air Terjun Dewi Selendang, karena air terjunnya terlihat jatuh sangat halus seperti selendang dewi. Indah sekali.
Bidadari yang lagi menunggu Jaka Tarub datang.. Wkwkw
Kadang perjalanan akan membawa kita pada ingatan tentang perjalanan sebelumnya. Jalan yang pernah kita lewati dulu, cerita tentang melewati jalan itu, tanpa diminta semua ingatan tentang itu akan muncul. Ingatan itu bisa saja membahagiakan, tetapi juga bisa menjadi luka.
Tak perlu lari, tak perlu sembunyi dari sakitnya ingatan perjalanan itu, karena semakin kamu lari, semakin cepat juga ia mengejar. Nikmati saja semua rasanya. Rasa sakit, bahagia, kecewa. Kelak, rasa itu pula yang akan jadi kisah yang menarik untuk diceritakan kembali.
Senja di Sembalun



Nb:
Perjalanan ke Sembalun tahun 2018 yang lalu, tetapi baru rampung ditulis 2020 ini.
Efek quarantine day yang membuat gabut dan mencari-cari draft tulisan di blog yang belum selesai 😂😂😂

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^