Minggu, 24 Mei 2020

Tidak Ada Opor di Lebaran Tahun Ini

Ketika menuliskan ini saya sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja. Rasanya seperti ingin menyanyikan lagunya BCL yang, "Kuingin marah melampiaskan, tapi kuhanyalah sendiri di sini." Rasanya ingin menyanyi keras-keras sambil berteriak di telinga orang-orang yang begitu bebal diberitahu untuk #dirumahsaja. Ingin berteriak di telinga pemerintah yang terlalu santai menangani pandemi ini. Dan ingin berteriak kepada diri sendiri yang belum bisa mengikhlaskan diri karena tidak bisa lebaran di rumah. 
Video Call dengan Abil, adek bontot yang lagi di China

Sedih sekali melihat postingan di twitter maupun facebook, orang-orang ramai memenuhi pusat perbelanjaan, berbelanja baju, saling berdesak-desakkan, seolah-olah baju baru lebih penting dari ketakutan akan tertular covid-19. Ketika beberapa orang menahan diri untuk tidak kemana-mana, tetapi banyak orang lainnya tanpa rasa bersalah malah berdesak-desakkan memilih baju terbaik yang akan digunakan di hari raya nanti. Rasanya seperti dikhianati seorang kekasih. Ketika kita mencoba bertahan untuk setia, tetapi dia dengan asyiknya jalan dengan selingkuhan. Ingin marah, tapi ah sudahlah. Yang tersisa hanya rasa lelah dan kecewa yang sangat. Memang benar apa kata Bapak, disaat seperti ini yang kita miliki hanya dua, sabar dan syukur. Bersabar agar bisa melalui musibah ini dengan lapang dada. Bersyukur karena sampai detik ini kita masih diberikan nikmat kesehatan dan rejeki oleh Allah SWT. Mau marah sampai bagaimana pun juga percuma. Tidak ada guna. Masyarakat Indonesia terlalu bar-bar untuk diberitahu. 
Foto Keluarga Papa Bandy di Lebaran 2020

Malam ini, suara takbir memenuhi pengeras suara masjid. Takbir yang setiap tahunnya selalu saya rayakan dengan suka cita terdengar seperti rintihan tangis kesedihan kali ini. Bau opor ayam yang tersaji di meja juga tidak bisa menggugah lidah. Anak-anak berlarian bermain kembang api sembari berteriak "Allahu Akbar, Allahu Akbar." Riuh di luar, sesak di dalam. Mendung mulai bergelantungan di langit, hanya menunggu waktu saja untuk bisa terjatuh membasahi tanah. 


"Bagi anak rantau, lebaran adalah pulang."

Malam ini, malam lebaran. Saya duduk di beranda sambil membuka sosmed, berkirim pesan, atau menjawab video call dari beberapa teman. Untuk pertama kalinya dalam hidup, malam lebaran saya berjalan begitu damai. Biasanya akan ada teriakan-teriakan Ibu yang meminta saya mengisi penuh toples-toples kue yang kosong, membeli air dus, membersihkan ruang tamu atau mengganti sarung bantal sofa. 

"Ibu lagi apa?" Tanya saya di telepon. 
"Lagi duduk-duduk aja di ruang tamu sama Bapakmu."
"Ndak masak opor ayam sama buat lontong, Bu?"
"Buat apa Ibu masak, yang makan juga ndak ada. Kalian juga ndak ada yang pulang."
Sama seperti Ramadhan kemarin, tak ada Sepat di menu berbuka puasanya, lebaran kali ini pun demikian, tak ada opor ayam sebagai menu lebarannya. Opor ayam yang selalu menjadi makanan andalan kami ketika lebaran. Tidak peduli jika di meja ada kebuli, nasi kuning, bakso dan sejenisnya, jika tanpa opor ayam rasanya seperti ada yang kurang.
Ada jeda yang tercipta diantara kita selama beberapa jenak. Saya tidak tahu hendak menjawab seperti apa. Saya tiba-tiba tersadar bahwa kesepiaan yang kami alami di malam lebaran ini tidak ada apa-apanya dibandingkan kesedihan Ibu Bapak. Setahun mereka menanti hari ini, hari dimana bisa berkumpul penuh suka cita bersama semua anak-anaknya. Tetapi dalam sekejap, penantian selama setahun itu seolah tidak berarti sama sekali.
"Sabar Bu. Insyaa Allah kita akan ketemu nanti, yang penting Ibu Bapak sehat selalu." Tidak ada kata lain yang bisa diucapkan selain sabar. Terdengar klise memang, tetapi belum ada kosakata lain yang bisa menggantikan posisi kata "sabar" untuk saat ini. 

Sebelum hari ini tiba, saya percaya dengan apa yang dikatakan Sapardi Djoko Damono bahwa menanti hujan di bulan juni adalah rupa ketabahan yang paripurna. Tetapi setelah hari ini tiba, menanti hujan di bulan juni tidak ada apa-apanya dibanding ketabahan orang tua mengikhlaskan anaknya pergi dan  menantikan kehadiran anak-anaknya di rumah. Uang dan waktu yang kami miliki tidak bisa ditukarkan dengan pertemuan barang sejenak saja dengan mereka. Tak peduli berapa giga byte kuota yang kami habiskan untuk video call, tetap tidak bisa menggantikan rasa dari sebuah pertemuan. Rindu kami belum tuntas. 
Malam ini, malam lebaran. Saya sudah berjanji bahwa saya tidak akan menangis. Ada ribuan hal yang bisa disyukuri daripada harus meratapi diri dengan tangis. Alhamdulillah, Ibu Bapak, adik-adik, keluarga sehat semua. Alhamdulillah kita tidak harus diuji dengan kehilangan sanak saudara karena pandemi ini. Alhamdulillah, Allah hanya meminta kita untuk bersabar sebentar saja untuk satu pertemuan yang indah. Alhamdulillah, lebaran ini kita masih bisa bersama-sama walau tanpa pertemuan. Alhamdulillah, punya banyak teman dan keluarga di rantauan yang membuat lebaran ini tidak terlihat begitu menyedihkan.



"Perbanyak syukur, kurangi mengeluh." 
Nasehat Ibu. 


Nb:
Untuk kamu yang mungkin sudah bosan karena harus selalu di rumah saja, menghabiskan waktu penuh bersama keluarga, ingatlah ada kami anak-anak rantau yang tak bisa bertemu keluarga karena musibah ini. Mohon untuk bersabar #dirumahsaja agar kami juga bisa merasakan nikmatnya bisa berkumpul bersama keluarga lagi nanti.


Seteluk, 23 Mei 2020

Curhatan anak rantau di malam lebaran

1 komentar:

  1. menang dengan mudah bermain di IONQQ
    ayo segera daftar dan coba
    WA; +855 1537 3217

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^