Pagi di Bukit Kenawa |
Jam
5 pagi aku sudah bangun, dan langsung menghampiri Ibu yang sedang sibuk di
dapur. Aku mencoba mengambil hati beliau, dengan membantu memotong-motong
sayur, dan mencuci semua piring-piring kotor. Beliau sudah tahu apa yang aku
inginkan, jika melihatku mendadak rajin seperti ini.
“Kata
Bapakmu, kamu boleh pergi, asal hati-hati kalau bawa motor.”
Kata-kata
izin Ibu langsung membuatku berteriak kegirangan dan memeluk beliau. Selesai
mencuci piring, aku langsung packing
semua barang-barang yang aku butuhkan, kamera dan HP tak lupa aku cas, tripod
aku cek ulang. Perjalanan seru kita akan segera dimulai. Jum’at jam 8 pagi kita
berangkat. Semua perlengkapan sudah masuk ke ransel. Ranselku menjadi yang
paling berat dan merepotkan, dengan tripod menggantung disisi kiri dan kamera
di sisi kanan. Tak lengkap kemana-mana tanpa membawa kamera dan tripod, tak
usah ada perjalanan jika tidak bersama dua benda itu. Perjalanan kita lumayan
jauh dan memakan waktu yang lama, sekitar 3 jam baru sampai Taliwang, itu pun
dengan kecepatan yang super, kalau menggunakan standar kecepatanku yang hanya
60km/jam, mungkin bisa sampai 4 atau 5 jam di jalan. Aku membonceng Iis, dia
mengenakan rok dan tak ingin duduk laki-laki di motor, jadi aku mesti ekstra
hati-hati dan sabar dalam megendarai motor. Putry dibonceng Kak Adit, kakak
laki-lakinya, dan hanya Ginty yang tak memiliki boncengan. Belum setengah
perjalanan aku sudah merasa amat kelelahan, jalan Sumbawa yang berkelok-kelok
ditambah lagi dengan membonceng dengan posisi duduk seperti itu semakin membuat
aku kelelahan dan ekstra hati-hati dalam mengendarai motor, ingin rasanya aku
meminta Iis untuk mengubah posisi duduknya seperti duduk laki-laki, tapi aku yakin
dia tak akan mau. Putry pun berkali-kali
mengatakan ke Iis supaya mengganti posisi duduknya, tapi dia mengatakan sudah
terbiasa dengan duduk seperti ini. Seandainya dia bisa merasakan betapa susah
dan lelahnya mengendarai motor dengan membonceng seperti itu. Dari SMA hingga
sekarang aku serasa menjadi ojek pribadi Iis, dia tidak bisa mengendarai motor,
jadi akulah yang menjadi soulmate-nya
kemana-mana. Dia menyenangkan dalam beberapa hal tetapi menjadi sangat
menyebalkan dalam beberapa hal juga, terutama ketika keras kepalanya mendadak
mucul. Seperti saat ini, ketika dia mengatakan tak mau duduk laki-laki, maka
sampai nanti pun dia tak akan mau mengubah posisi duduknya. Terkadang pilihan
itu menuntut konsekuensi sabar dari yang lain, maka aku harus melapangkan
hatiku untuk bersabar kali ini.
Untuk
mengisi ulang kembali tenaga, kita memutuskan untuk makan soto di warung
pinggir jalan dekat dengan terminal Alas. Perbincangan di kala makan terkadang
sering menghasilkan keputusan yang ekstrim, seperti saat ini, kita memutuskan
tidak jadi ke Taliwang, tapi ke Kenawa. Tanpa persiapan yang matang dan tanpa
info yang banyak tentang pulau itu menjadikan ini keputusan yang ekstrim dan
menegangkan buatku. Sampai di pelabuhan penyebrangan ke Pulau Kenawa, kita
meminta kepada si Bapak pemilik kapal untuk meminjamkan beberapa perlengkapan
masak selama menginap di Kenawa, dan beliau memberikan semua yang kita
butuhkan. Hanya butuh waktu 15 menit penyebarangan untuk sampai ke Kenawa. Dari
jauh terlihat betapa panasnya pulau itu. Tidak lama setelah kita menjejakkan
kaki disana, aku adan Putry langsung ke pantai dan berenang ria disana. Iis tak
mau ikut dengan kami dengan alasan tidak kuat dengan panasnya hawa pantai
siang-siang begini. Kak Adit sibuk dengan pancingnya, sedangkan Ginty sibuk
dengan HP-nya, memberi laporan kepada pacarnya yang nun jauh disana. Ini adalah
kegiatan yang paling aku suka ketika ke pantai, berendam berlama-lama di
pantai. Tak peduli nantinya kulit akan gosong karena panasnya sinar matahari,
tak peduli badan akan lengket karena air laut, yang penting bahagia. Untuk apa
jauh-jauh ke Kenawa kalau tidak menikmati semua keindahan yang ada disini. Perjalanan
kali ini kita seakan dimanjakan oleh kedua laki-laki yang ikut dengan kami, Kak
Adit dan Ginty, mereka yang memasak makanan untuk kita, bahkan membakar cumi
pun mereka rela. Biasanya ketika menginap seperti ini perempuan selalu menjadi
korban untuk masak memasak, tapi sekarang beda,
laki-laki yang berkorban memasak untuk kita.
***
Kau
tahu apa momen yang paling membahagiakan di dalam perjalanan itu? Ketika kau
duduk dipinggir pantai dengan segelas kopi hangat dan matahari orange yang
memanjakan mata. Semasa SMA dulu, kita sering seperti ini, menghabiskan sore
kita dengan bercengkrama di tepi pantai, kemudian pulang ketika adzan magrib
mulai berkumandang. Aku tidak menyangka bahwa sekarang kita berada di pulau ini
bersama-sama, menenggak kopi yang sama, dan menyaksikan matahari orange yang
sama. Aku selalu memimpikan untuk bisa datang ke pulau ini, tetapi aku tidak
menyangka bahwa ini bersama mereka, teman terbaikku dari SMA. Matahari mulai
tenggelam tepat ditengah-tengah gugusan pulau kecil Sumbawa ini, tidak ada
habisnya mengucapkan syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita
saat ini.
Malam
mulai beranjak, terasa sekali sepinya pulau ini, yang terdengar hanyalah suara
ombak yang menyapu pasir pantai, dan angin yang membuat gemerisik dahan pohon.
Semakin malam, angin semakin kencang dan menambah dingin suasana. Segelas kopi
hangat sangat membantu menghangatkan tubuh kami. Dingin membuat kami tidak
mempedulikan penampilan, semua baju yang ada di ransel kita gunakan untuk
mengangkal dingin. Ini benar-benar privat
island, yang ada hanya kita berlima. Putry sempat berceloteh, kalau kita
saling bunuh terus buang mayat di laut mungkin tidak akan ada yang tahu, saking sepinya pulau ini. Kita sempat
terkejut, karena semakin malam semakin banyak saja nelayan yang mendekat ke
pulau ini. Kata Kak Adit mereka ingin menangkap ikan disekitar pulau, tapi pikiran
berlebihan kita ini tiba-tiba muncul, mengira mereka perompak lalu mengambil
semua barang-barang yang kita punya, dan memotong-motong badan kita dan membuang
ke laut jadi makanan ikan. Benar-benar otak ini sudah terasuki cerita-cerita
dalam film barat. Kak Adit menertawakan kekhawatiran kita yang berlebihan, Kak
Adit hobi memancing, jadi menginap beberapa hari di laut seperti ini sudah
sangat biasa baginya, beda dengan kita para perempuan rempong ini, efek
film-film barat yang sering kita tonton membuat kita berfikiran yang agak
berlebihan.
Malam
di Pulau Kenawa kita habiskan dengan bercerita tentang kisah kita semasa SMA
dulu. Tentang teman-teman kelas yang unik, tentang kelas kita yang selalu
menjadi sorotan sekolah karena kenakalannya, tentang cinta pertama kita semasa
SMA. Ah, ini benar-benar nostalgia yang sempurna. Delapan tahun saling
mengenal, membuat kita tahu sifat masing-masing, jangan tanyakan berapa kali
kita bertengkar karena perbedaan pendapat itu, masa-masa menyenangkan dan
menggalaukan sudah kita lalui bersama dan sekarang kita semua dipisahkan oleh
jarak. Aku di Sumbawa, Putry di Jogja, dan Iis di Taliwang. Ketika jarak yang
begitu jauh memisahkan kita, pertemuan seperti ini menjadi pengobat rindu yang
sangat mujarab. Menghabiskan waktu sore hari dengan segelas kopi hangat menjadi
ritual wajib kita ketika berkumpul.
***
Pagi
jam 4, kita semua sudah bangun. Usai sholat shubuh kita langsung menuju ke
puncak bukit Pulau Kenawa. Puncak bukit Pulau Kenawa adalah spot yang paling
bagus untuk menyaksikan sunrise
disini. Puncaknya tidak begitu tinggi, tetapi berhubung kita semua menggunakan
sandal jepit, jadi agak susah pas mendaki. Sampai di puncak, tepat ketika
matahari sedang memancarkan semburat merahnya dilangit, warna merah, kuning,
orange, biru, seperti lukisan alam yang sempurna. Perjalanan ini adalah satu
cara untuk kita banyak bersyukur kepada-Nya. Terimakasih ya Allah, kau telah
menakdirkan aku hidup di pulau indah nan damai ini, Sumbawa. Aku memeluk Iis
dan Putry, bulir bening itu turun dari kedua sudut mataku, aku menyayangi
mereka, banyak perjalanan kita lakukan bersama, tetapi mengapa ini terasa
seperti perjalanan perpisahan bagi kami. Memikirkan bahwa setelah ini kita akan
berpisah kembali membuat bulir-bulir bening itu semakin menderas.
“Aku
sayang kalian semua.” Lirih Putry mengucapkan kata-kata itu. Aku tak kuat
dengan momen ini.
Waktu itu memang
kejam terhadap siapapun, tidak peduli kepada mereka yang sedang mencinta. Waktu
juga dengan kejam melindas apapun yang ada didepannya, tanpa ada kata jeda,
tanpa ada kata tunggu. Waktu kejam berjalan seperti yang ditakdirkan kepadanya.
Aku tak tahu kejamnya waktu ini membuat segala yang seharusnya lama menjadi
demikian singkat. Aku tak tahu, atau memang karena aku yang bodoh terlalu sering
mengabaikan kalian.
Entahlah. Yang pasti waktu itu pula menyadarkan aku bahwa pertemuan itu tidak akan sesetia
mentari berputar menggantikan siang dan malam, tidak sesetia detik berganti ke
menit disetiap saatnya. Pertemuan
itu seperti sulap yang penuh kejutan dan misteri, bisa membuat aku
terkagum-kagum dengan seketika, bisa membuat aku harap-harap cemas, bisa
membuat kebohongan menjadi fakta. Waktu pula yang menyadarkan aku, bahwa aku
tanpa kamu tidak akan membuat musim hujan lebih cepat dari biasanya, bahwa aku
tanpa kamu tidak akan membuat dunia berakhir dengan seketika, walaupun aku tahu
bahwa aku tanpa kamu menyisakan banyak ruang kosong dihati. Pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang tak
terpisahkan dari sebuah perjalanan. Tetapi terkadang kita memang perlu berpisah
untuk bisa menghargai setiap pertemuan itu. Ah memimpikan bisa melakukan
perjalanan bersama kembali, seperti memimpikan untuk bisa ke Jepang, susah.
***
Ini tentang laut, sore, matahari orange dan kamu. Jika
dalam kelanamu kau telah menemukan hakikat yang kau cari, kau bisa kembali
pulang, disini di kota kecil ini.
Aku disini, masih ditempat yang sama. Kita bisa bertemu, sekedar menghabiskan
sore dengan matahari orange,
segelas kopi dan roti roma.
Dalam
doa yang kusampaikan diam-diam, lirih aku berkata “Semoga kau baik-baik saja”
Sumbawa, 20 Oktober 2014
Semoga kau baik2 saja :'))
BalasHapusaku baik2 saja asal ada kau disampingkuuuu :D
Hapus