Jumat, 24 Juni 2022

Perayaan Sebuah Cerita

Pantai Poto Batu, Sumbawa Barat
 

Sebelum menuliskan ini, saya baru saja menamatkan (lagi) Rectoverso-nya Dee. Buku yang selalu saya baca ketika saya merasa sedang jatuh cinta, dan patah hati. Membaca Rectoverso seperti membuat saya lebih legowo dalam menerima sesuatu, bahwa semua cerita terkadang harus dibiarkan mengalir apa adanya, tidak harus terburu-buru, ngotot, ngoyo. Seperti biasa, setelah menamatkan Rectoverso, seperti ada ruang kosong di hati yang membuat semua yang seharusnya baik-baik saja, menjadi tidak baik-baik saja.

September
Saat itu hari minggu, di akhir bulan September, di suatu kampung di pesisir Labuhan Lombok. Pertemuan yang tak disangka-sangka di akhir September itu, yang kemudian melahirkan pertemuan kedua, ketiga, dan entah berapa pertemuan lagi. Saat itu kamu duduk di dekat pintu depan rumah. Kamu mengenakan kemeja kotak-kotak warna hitam. Saya ada di dalam rumah, asyik bermain dengan kedua keponakan. Tiba-tiba Bibi datang menghampiri dan mengatakan akan mengenalkan dengan seseorang, dan ternyata orang itu adalah kamu. Beberapa hari setelah perkenalan yang tiba-tiba itu, Bibi mengirimkan nomormu. 
"Simpan nomornya, nanti ditelpon."
"Serius ndak orangnya? Malas saya kalau cuma main-main aja."
"Iya, serius." Bibi meyakinkan.


Beberapa bulan setelah pertemuan yang secara tiba-tiba itu, tidak ada pergerakan apa pun yang terjadi. Kita saling menyimpan kontak tanpa tahu harus melakukan apa. Mau menghubungi duluan, tetapi rasa malu ini melebihi segalanya. Semuanya berlalu hanya sebagai penonton setia status watsapp-mu yang entah akan muncul sekali kapan. Status watsapp yang muncul yang membuat saya bertanya-tanya seperti apa kamu sebenarnya.  

Januari
Hari itu hari minggu, di awal Januari, entah keberanian seperti apa yang tiba-tiba muncul di dalam diri saya. Saya memberanikan diri membalas status watsapp-mu. Seperti gayung bersambut, kamu membalas pesan saya. Berbalas pesan watsapp yang kemudian membuat namamu mulai muncul di deretan chat watsapp saya. Kamu ternyata suka buku. kamu suka Paulo Ceolho, lagu-lagu The Beatles, strawberry fields forever yang menjadi favoritmu, kamu juga suka jalan-jalan, suka paralayang. Kita punya beberapa kesamaan yang membuat obrolan kita lebih nyambung, dan terasa feel-nya. 

"Kamu punya buku Into The Wild?" Watsapp kamu pagi itu.
"Bukunya siapa? Saya gak punya. Adanya buku Paulo Ceolho. Buku itu tentang apa?" Kemudian percakapan itu mengalir begitu saja. Saya menghubungi beberapa teman langganan saya membeli buku untuk mencarikan buku Into The Wild. Semua teman-teman yang saya tahu suka baca juga rusuhi untuk mencari buku itu.
"Buku itu langka sekali. Penerbitnya udah gak nyetak lagi." Hampir semua teman yang saya mintai tolong mengatakan hal yang sama.  


Rasa suka itu bisa datang dengan cara yang sederhana. Sesederhana menyukai Aan Mansyur karena melihat seseorang yang kita sukai memposting buku Aan Mansyur. Tiba-tiba kita seolah menjadi penggemar Aan Mansyur tingkat akut. Semua bukunya dibeli, dan semua sosial medianya pun diikuti.
Seperti menyukai Payung Teduh karena lagu-lagunya sering menjadi penghibur ketika melakukan perjalanan. Memaksa telinga yang tidak terbiasa mendengarkan lagu dengan genre seperti itu hingga terbiasa, dan menjadi suka. Sesederhana Ibu yang menerima pinangan Bapak hanya karena melihat Bapak menghabiskan kopi dengan air rebusan sayur bayam yang Ibu buat, tanpa ada sedikit pun protes dari Bapak. 
Kamu ingat waktu kamu mengantar saya pulang ketika habis dari Mantar? Saat itu posisi motor saya berada di kanan jalan, dan motor kamu ada di kiri jalan, tapi gak lama, kamu tiba-tiba melambatkan motor dan mengambil bagian kanan jalan, dan saya kemudian berada di kiri jalan. 


Saya mulai menyadari bahwa sebentar lagi benteng pertahanan yang susah payah saya bangun untuk melindungi hati ini perlahan runtuh. Saya mulai menantikan pesan singkat darimu masuk ke dalam watsapp saya. Saya mulai senyum-senyum sendiri ketika kita asyik berbalas pesan. Manusia slow response seperti saya, menjadi begitu fast response ketika pesan yang masuk itu darimu. Saya mulai memutar otak bagaimana agar terus bisa terhubung denganmu, termasuk meminta bantuanmu untuk membelikan buku di Gramedia. Padahal saya selama ini selalu membeli buku via online shop. Mengajakmu pergi ngopi duluan, ikut ketika kamu sedang paralayang, sekedar mengirim pesan menanyakan kabar, atau menanyakan kamu sedang apa.  

"Saya memesan segelas kopi sachet, kamu memesan segelas pop ice rasa permen karet. Saya suka setiap pahit dari kopi yang saya minum, kamu suka setiap manis dari pop ice yang kamu minum. Kita bicara tentang banyak hal, tentang perjalanan, tentang beda dari heaven dan paradise. Ada bahagia dan takut yang datang menyelinap secara bersamaan. Tuhan, tidak ada patah yang abadi, kan."


Hari ini saya menyadari bahwa, benteng pertahanan saya mulai runtuh. Sama seperti bagaimana awal mula saya menyukai Aan Mansyur dan Payung Teduh. Semua datang dengan tiba-tiba dan sederhana. Sesederhana saya yang tertawa karena jokes receh darinya di pesan singkat kami. Sesederhana yang menantikan balasan pesannya setiap hari. Sesederhana saya yang senyum-senyum sendiri melihat namanya muncul di barisan viewer story watsapp saya, dan tiba-tiba menjadi galau ketika namanya tidak ada di dalam viewer story. 


Juli, 2021


Nb:
Tulisan yang akhirnya dipost sebagai perayaan sebuah kisah, yang akhirnya harus selesai sebelum benar-benar selesai. Seperti tanaman, baru saja benihnya tumbuh, tetapi harus dicabut habis sampai akar-akarnya, sebelum dia bertambah besar dan merusak semua tatanan yang ada. Ada yang harus dipertahankan, dan ada yang harus diikhlaskan. Ada yang harus disadari bahwa tidak semua teman perjalanan akan memiliki tujuan yang sama sampai akhir, ada yang harus berpisah karena dalam tujuan perjalanannya tidak lagi sama.

6 komentar:

  1. Tak ada sedikitpun sesalku
    Bila mampu bertahan dalam setiaku
    Hingga ada alasan, bagimu tuk tinggalkan setiaku

    Ho ouuuh demi nama cinta
    Telah kupersembahkan hati ini hanya untukmu
    Tlah kujaga kejujuran dalam setiap nafasku
    Karena demi cinta
    Kurelakan bahagiaku atas ingkarmu
    Sebab kumengerti cinta itu tak mesti memilikiiii 🤣🤣🤣🤣🏃‍♂️🏃‍♂️🏃‍♂️🏃‍♂️

    BalasHapus
  2. Ahhh, pernah ada di posisi ini, Deket, tapi sayang ga bisa berlanjut 😁. Dulu sempet ngerasain kok ya sakit... Tapi lama2 toh hati bisa Nerima dan ikhlasin. Mikirnya simple aja, berarti Tuhan belum nunjukin siapa jodoh yg sebenernya 🤗

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak fanny bener banget. Awalnya si ngerasa sakit, tapi yaudahlah ya. Mending gagal di awal daripada gagal ketika sdh ke jenjang yg lebih serius heheheh

      Hapus
    2. Setujuuu kak. Aku sendiri lebih milih merasakan sakit di awal sebelum naik ke jenjang serius. Selain lebih ribet ngurusnya, status yg didapat juga jadi beda ntr 😁. Makanya kalo ada temen yg dapat masalah begini, dulu aku selalu nekanin syukurin aja Krn ketahuan di awal. Sedih boleh, tapi jgn kelamaan. Move on tetep harus... 😊

      Hapus
  3. That is a really beautifully composed photo. Kunning, biru, pink, gold and grey just blend it so well.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^