dalam perjalanan itu, sesekali menghela nafas dan menatap pepohonan tinggu menjulang, ah damaaai |
Sebenarnya aku ingin menuliskan
surat cinta untukmu. Menuliskannya dengan rapi diselembar kertas merah jambu.
Tetapi aku rasa surat cinta terlalu lama sampai padamu. Terlebih lagi aku yang
tak yakin akan keberanianku mengirimkannya. Ini hanyalah tulisan sederhana di
rumahku. Rumah yang selama ini menjadi tempatku berkeluh kesah, berbagi banyak
hal dan cerita. Jika kamu sempat berkunjung, anggap saja ini curhatan picisan
dari seorang perempuan yang tak tahu harus berbuat apa.
Aku ingat kala pertama kita
bertemu, dalam sebuah seminar di kampusku beberapa tahun yang lalu. Kamu
menjadi pembicara waktu itu. Aku terhipnotis dengan segala kata-kata yang kamu
sampaikan dalam seminar itu. Aku kagum pada pandangan pertama (terlalu kikuk
jika dikatakan cinta). Sejak pertemuan pertama itu kita tak lagi bertemu. Kamu
juga tak tahu siapa aku, aku juga tak banyak tahu tentang kamu. Pertemuan
pertama yang hanya sepintas lalu. Tak ada kenangan yang begitu mendalam. Aku
menjalani hariku seperti biasa. Kekaguman itu hanya sebatas pada kekaguman
peserta seminar dengan pembicaranya, sama seperti di seminar-seminar yang lain.
“Aku berdoa, semoga bisa bertemu lagi dan mengenalmu lebih jauh.”
Setahun kemudian, pada tanggal
yang masih jelas tercetak diingatanku. Kamu datang lagi, tetapi bukan dalam
peran sebagai pembicara di seminar. Kamu datang dengan peranmu yang sebenarnya:
penulis. Kita kemudian larut dalam diskusi yang panjang, bersama beberapa teman
yang lainnya juga. Kamu banyak bercerita
tentang sekolah-sekolah di desa terpencil yang masih butuh perhatian pemerintah. Kau
berbicara dengan semangat menggebu, berapi-api. Dari pembicaraan pada pertemuan kedua itu, aku
kembali menaruh kagum padamu: kapasitasnya lebih banyak dari yang pertama. Kamu
memberitahu nomor HP-mu, sekedar basa basi pada kami jika ingin menghubungi
atau sekedar diskusi tentang pendidikan. Dengan sigap aku menyimpannya di phonebook-ku. Siapa tahu nanti aku
memerlukan nomor itu. Tidak hanya nomor HP, alamat sosial mediamu pun kamu
beritahu. Kembali dengan malu-malu aku mengirimu pertemanan. Sejak saat itu,
aku sering memperhatikanmu diam-diam melalui sosial media itu. Aku ingin tahu
segala hal yang kamu lakukan. Mungkin kamu lupa hal detail seperti ini karena aku
sama dengan orang yang kau temui, sepintas lalu dari banyak yang datang. Tapi
aku tak akan lupa. Pertemuan pertama, kedua, bahkan gerak-gerik malu-maluku
ketika mengintip sosial mediamu. Semakin
hari, kagumku semakin bertambah.
“Izinkan aku menjadi satu dari banyak pengagum rahasiamu.”
Setelah pertemuan kedua itu, kita
tak pernah bertemu lagi. Tetapi aku tetap memperhatikanmu. Menengok apa yang
kamu lakukan disana. Sembari berharap untuk kembali dipertemukan dalam cara
yang indah. Yah sekedar berdiskusi lagi tentang pendidikan, atau tentang
buku-bukumu yang jumlahnya begitu banyak. Hingga pada suatu ketika, perjalanan
itu mempertemukan kita. Perjalanan itu menciptakan pertemuan ketiga, keempat,
kelima, bahkan seterusnya. Aku dan kamu menjadi dekat. Aku tak lagi sembunyi dalam malu yang diam.
kita pernah menghabiskan sepotong sore disini, ingatkah?? |
Aku
bukanlah seseorang yang mudah jatuh cinta pada seseorang. Tak mudah bagiku
dekat dengan siapapun. Kata-kata Bapak untuk tak mempercayai laki-laki selain
Bapak dan suamiku nanti membuatku sedikit berjarak dengan kaum yang bernama
adam itu. Tetapi denganmu, aku percaya. Aku mempercayakan banyak perjalananku
padaku. Aku percaya berjalan bersama, akan menyenangkan dan baik-baik saja.
Mungkin bagimu ini adalah hal yang biasa. Sebiasa perasaan teman yang berjalan
dengan teman lainnya. Tidak denganku. Setiap bertemu aku harus bersusah payah
menahan degup jantungku yang tak henti-hentinya melompat, seolah keluar dari
tempatnya semula. Aku harus bersusah payah, menyembunyikan tatapan kekagumanku.
Aku harus bersusah payah untuk bertingkah semuanya biasa-biasa saja. Aku
bersusah payah menyembunyikan perasaan ini, karena aku takut jika aroma cinta
itu tercium olehmu, aku tak bisa lagi bertemu denganmu.
“Mencintaimu membuatku menjadi detektif handal. Seolah tahu bagaimana tentangmu. menebak-nebak apa yang kau suka dan tidak suka. Mencoba menyatukan banyak kepingan kisah untuk membentuk suatu cerita indah sesuai analisa sang detektif.”
Pernah suatu ketika kita
melakukan perjalanan berdua ke suatu tempat.
Itu adalah Perjalanan tersulit yang pernah aku lalui. Tetapi tak ada satu
pun rasa takutku. Karena aku percaya, denganmu perjalanan sesulit apapun bisa
terlewati. Kamu terluka waktu itu, ingin rasanya aku mengoleskan obat luka dikakimu,
atau sekedar memijatmu untuk memulihkan tenaga yang terkuras habis karena
perjalanan melelahkan ini. Tapi aku tak bisa apa-apa, aku hanya terdiam menatapmu yang meringis kesakitan. Kamu mungkin tak pernah sadar betapa aku
mengkhawatirkanmu. Kebiasaanmu tidur larut malam, dan meminum kopi terlalu
banyak membuatku takut akan kesehatanmu. Rasa khawatirku kembali bertambah
ketika aku tahu, kau pemakan segala, suka memakan makanan apa saja. Bagaimana
jika kamu sakit karena makanan yang kau makan itu tak sehat?? Ada banyak rasa
khawatir yang kusimpan diam-diam, sambil merapal doa kepada Sang Pemilik Segala
untuk menjagamu, agar kamu baik-baik saja, sehat dan selalu menjadi
menyenangkan.
“Mungkin memang benar, cinta tak bisa memandang kepintaran seseorang. Aku bisa dengan hebatnya berdiskusi dengan teman-teman, dan mendadak kehilangan kata jika berbicara denganmu. Cinta bisa membuat orang jadi segila ini.”
Setiap malam, dalam akhir
rutinitas panjangku seharian berjibaku dengan tugas kantor, aku sering
memikirkanmu dengan segudang pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu. Kamu apa
kabar? Sudah makan? Bagaimana harimu? Atau pertanyaan lebih dalam seperti
adakah aku di satu sudut hatimu?? Tapi semua itu kusimpan dalam-dalam, sambil
mencari tahu bagaimana kabarmu dengan menengok sosial mediamu seperti
kebiasaanku dulu (hingga saat ini). Ada rasa tak suka ketika kamu asyik
membalas komentar dengan seseorang. Kadang aku menangis, kadang aku tertawa,
kadang aku senyum-senyum sendiri, kadang aku terdiam dalam bimbang yang aku
ciptakan sendiri. Semua rasa itu keluar begitu saja, seperti hujan yang tak
bisa dihentikan.
menuliskanmu, disetiap perjalanan itu... |
“Terimakasih karena telah memberikanku rasa itu.”
Mereka mengatakan aku sudah gila.
Ya benar. Aku sudah gila sejak aku tahu bahwa aku menyukaimu. Sejak aku
memendam rasa ini. Tetapi ini gila yang wajib aku syukuri, setidaknya aku
menjadi tahu bahwa aku bukanlah robot yang tak punya hati, tak punya galau
memendam rasa yang membuatku berharap-harap cemas setiap waktu.
Kamu seseorang yang membuatku
percaya bahwa tak ada jalan yang tak bisa dilewati selagi jalan itu masih ada.
Kamu seseorang yang membuatku terpaku menatap satu pintu yang sama, berharap
suatu saat pintu itu terbuka dan membiarkanku masuk ke dalamnya dan
menyembuhkan setiap luka yang ada. Kamu seseorang yang tak akan pernah kusesali
kedatangannya, karena kamu yang telah membuatku larut dalam pengharapan, dalam
doa-doa yang tersampaikan lirih di ujung malamku. Kamu yang membuatku terus
berharap agar penantian itu menjadi “kita.” Kamu juga yang membuatku tersadar
jika tak ada pangeran berkuda putih yang setia membawakanmu bunga disetiap
waktu ketika kau minta. Pernah ada suatu waktu dimana aku malu-malu bermimpi
untuk menikmati hari-hari bersamamu, dimana aku memasakkan makanan kesukaanmu,
aku yang dengan setia menunggumu pulang kerja. Aku yang menyibukkan waktu
menantimu dengan merajut baju-baju bayi yang lucu. Tapi akhirnya aku mulai
pasrah pada pengharapan kepada Sang Pemilik Segala dalam rapal doa yang tak
hentinya kusampaikan. Aku tak ingin lebih, melihatmu disepanjang hari dan
mengusap peluh-peluh yang mengaliri wajahmu karena sibuk bekerja seharian.
apakah itu badai, ombak tenang, atau apapun, jika bersamamu aku tenang... |
"Aku masih percaya pada satu bahwa jatuh cinta ini, bukan seperti kisah di negeri dongeng, yang akan berakhir bahagia ketika pangeran melamar sang putri. Jatuh cinta ini adalah perjalanan panjang dengan akhir yang masih rahasia."
Matahari masih sama, terbit di ufuk
timur dan senja juga masih memancarkan
warna hangatnya yang menggoda. Pelangi masih tinggi dan menarik untuk bisa
didaki, disentuh dan dicicipi seperti mengecap gula-gula yang manis. Tetapi hatiku
yang tidak pernah sama, masih jumpalitan, jatuh jungkir balik, salto. Pernah
ada masa dimana aku begitu jatuh cinta yang membuat hatiku tak henti-hentinya
bergejolak, bak gendang yang ditabuh setiap saat. Pernah ada masa dimana aku
menyerah: sudahlah cukup. Tetapi kamu selalu pintar membuatku jatuh cinta
berkali-kali, walau kemenyerahan itu sempat meringkusku.
Terimakasih telah hadir mengisi
hari-hariku yang datar, begitu-begitu saja. Terimakasih atas segala rasa yang
pernah tercipta. Terimakasih untuk pelajaran-pelajaran berharga itu. Sekarang
izinkan aku pergi, bukan untuk meninggalkanmu tetapi untuk belajar berdamai
dengan hatiku, untuk sebuah keihlasan yang purna. Bahkan seorang Ibu yang
melahirkan pun harus rela mengikhlaskan kepergian sang anak jika itu memang
waktunya, apalagi aku yang bukan siapa-siapa untukmu: kata seorang teman yang
membuatku tersadar bahwa cinta terkadang satu paket dengan keikhlasan.
Jika nanti kau telah lelah
berjalan dan tak menemukan apa yang kau cari, aku masih menyediakan sebuah
istana indah untuk kau masuki. Aku masih ada disana, masih diam dalam rapal doa
yang sama: kamu.
"Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu" Tulus-Sepatu
Dari seseorang yang selalu menyebutmu dalam setiap pengharapannya
Sumbawa dalam dekapan malam
4 Mei 2015
PS:
"Jika kamu tidak dipertemukan dengan seseorang yang kau sebut dalam
setiap doamu,
mungkin kamu akan dipertemukan dengan seseorang yang selalu
menyebutmu dalam setiap doanya."
aihh....manis banget kata2nya,suka banget sama pesan di endingnya^^
BalasHapussesuatu yang dari hati mbak....hihihi
Hapus:D
Pasti ada seseorang yang menybut nama kita di tiap doanya ya :) Sweet banget sih tulisannya
BalasHapusiya mbak, pasti....
Hapussemoga segera dipertemukan dengan seseorang itu..
:D
Kok aku merasa tersinggung sama tulisan ini....Oooo ternyata dia itu Aku,,,hmmm kapan ya saya jadi pembicara seminar.....
BalasHapushahahaha....
Hapusjangan cemburu bang, eh jangan2 bang Moerad lagi yang selalu menyebut nama saya dalam doa.. :p
kapan ayo jadi pembicara seminar, biar ada yang begal hati saya :D
cepet-cepet di pertemukan dengan sesorangnya :)
BalasHapus