Aku pernah berdiri di depan pintu
sebuah rumah. Seperti ini. Aku hanya berdiri didepannya, melakukan hal-hal
konyol dan berharap sang pemilik rumah mempersilahkanku masuk. Yah sekedar
minum kopi atau menikmati sepotong roti malkis. Atau bercengkrama, untuk
kemudian tersadar, pamit dan meninggalkan rumah itu. Sekarang, aku berdiri di
depan pintu disebuah rumah (lagi). Tetapi rumah yang berbeda. Dengan pemilik
yang berbeda pula. Rumah itu begitu indah. Segala kenyamanan bisa kurasakan
walau hanya melihat rumah itu dari kejauhan. Setiap kali aku melakukan
perjalanan, aku selalu menyempatkan diri untuk menoleh rumah itu. Mengucapkan
selamat pagi, bertanya apa kabar atau hanya melewatinya begitu saja jika aku
sedang terburu-buru. Sang pemilik rumah juga terlihat ramah. Sangat ramah. Aku
jadi tidak canggung untuk berbicara dengannya. Seiring waktu yang terus
berjalan, hari pun berganti dengan cepatnya. Aku semakin berharap bahwa itulah
rumah tempatku pulang. Cukuplah bagiku untuk terus berjalan.
“Ini bukan perkara siapa yang menghentikan perjalanan ini terlebih dahulu lalu mempersilahkan masuk, bukan? Tapi soal keberanian memulai untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam.”
II
Mungkin ini adalah keputusan terberat
untukku. Tanganku keringat dingin, badanku gemetaran. Aku tidak pernah
melakukan hal segila ini seumur hidupku. Dan ketika aku memutuskan untuk
‘jujur’, itu adalah kegilaan terbesar yang pernah aku lakukan. Nafasku tak
beraturan, jantungku seakan melonjak dari tempatnya semula. Keringat yang
menderas mencetak jelas jari jemariku yang menggenggam kertas surat itu: erat. Secepat
kilat aku meletakkan surat itu tepat di depan pintu rumah itu, lalu berlari dan
tak menoleh lagi. Sejak aku memutuskan untuk menulis surat itu dan memberikan
kepada sang pemilik rumah, sejak itu pulalah aku mempersiapkan diri dengan
kelapangan yang sangat, dan tentu saja dengan tenaga ekstra untuk berjalan
kembali menyusuri jalan yang tak mudah (sendiri). Sejak saat itu aku memutuskan
untuk pergi, berjalan seperti biasa.
III
Aku kira dengan terus berjalan dan
mengunjungi banyak rumah, ingatan tentang rumah itu bisa hilang. Ternyata
tidak. Aku semakin ingin mengunjungi rumah itu. Hanya untuk melihat senyum yang
mengembang di depan pintu itu, menyapaku lalu mengajakku bercakap-cakap. Ada
banyak rumah yang aku datangi, tetapi tidak senyaman berada di rumah itu. Aku
masih membanding-bandingkan rumah yang satu dengan yang lainnya dengan rumah
itu. Beberapa hari ini aku kembali melewati rumah itu, berharap menemukan
pemiliknya sedang menyiram bunga atau memangkas rumput liar yang menganggu
tamannya. Tetapi tak kutemukan pemandangan itu. Sang pemilik seolah hilang
ditelan bumi, tanpa kabar sedikitpun. Taman di depan rumah itu juga terlihat
tak terurus. Rerumputan liar merusak pemandangannya. Aku tak tahu kebodohanku
mengirim surat itu berbuah pahit. Aku merindukan sosok yang selalu duduk di
depan rumah itu dengan secangkir kopi dan buku ditangannya, lalu menyapaku
dengan senyum khasnya. Aku merindukan sosok yang tak pernah lelah mengajakku
bercerita tentang banyak hal seolah persediaan katanya tak pernah habis. Aku
merindukan sosok itu. Sungguh. Dia apa kabar?
IV
Tak apa bagiku jika ternyata rumah itu
tidak bisa kutempati, tetapi bisakah kita seperti sebelumnya. Sekedar
bercengkrama, menikmati secangkir kopi di taman depan rumah itu. Tak apa
bagiku, walau hanya berdiri di depan pintu, asalkan aku bisa melihatnya
tersenyum dan menjalani hari seperti biasanya. Itu sudah lebih dari cukup jadi alasanku berbahagia.
V
Aku masih berdiri di depan pintu rumah
itu. Tanganku mengepal, bersiap untuk mengetuk pintu. Mulutku sudah menganga
untuk mengucapkan salam. Tetapi otakku tiba-tiba menginstruksikan hal yang
lain. Tangan yang tadinya ku kepalkan melemas, mulut kukatupkan. Ah sudahlah.
Aku tak cukup berani untuk kembali mengetuk pintu itu (lagi). Kakiku mundur
perlahan, aku melangkah pergi dan tak kembali. Selamat tinggal.
“Pada akhirnya berjalan pergi itu menjadi satu-satunya pilihan, daripada menetap tetapi hidup dalam bimbang yang tak ada akhirnya.”
Sumbawa, 14 Mei 2015
Dalam Dekapan Malam
rumah ini |
Percakapan
lirih dengan sang Ibu:
“Ibu,
saya boleh nangis?”
“Jangan!!! Sekali-kali kamu harus sombong dengan air mata.”
Air mata itupun keluar dengan
sendirinya. Maaf Bu, untuk pertama kalinya aku menghianati kata-katamu.
PS:
Perjalanan ini akan membuatku
baik-baik saja, kan??
rumahnya indah dekat dengan perkebunan :)
BalasHapusKeren euy :')
BalasHapuskeren fotonya atauuuuu?? hihihihi :D
Hapussesuatu yang dari hati kakaaaak :D