Minggu, 14 Juni 2020

Perjalanan ke Desa di Atas Sumbawa

Tampang sebelum perjalanan kt yang aduhai. Masih oke semua ni tampilannya.. Wwkwk

Ada rindu yang tiba-tiba menyeruak ketika membuka HP dan melihat beberapa foto-foto perjalanan ke Desa Tepal dan Desa Tangkampulit beberapa bulan yang lalu. Apa kabar ya para guru di Madrasah dan anak-anak di sana. Saya penasaran dengan kehidupan di sana selama masa pandemi ini. Sepertinya dengan atau tanpa pandemi ini, kehidupan di sana berjalan seperti biasanya. Mereka tetap stay at home tidak keluar desa, ke ladang di pagi hari, lalu pulang sore harinya. Semua kebutuhan untuk makan sehari-hari didapatkan dari hasil berkebun. Ke Sumbawa hanya sekali dalam beberapa bulan untuk membeli kebutuhan pokok. Mereka juga tidak perlu pusing dengan segala pemberitaan terkait pandemi ini. Alangkah indahnya.
Kak Ilham santuy banget di atas hartop, padahal jalannya lumayan itu bikin jantung copot :)
Desa Tepal

Saya pernah menuliskan cerita tentang salah satu desa di atas Sumbawa, yaitu Desa Tepal, di blog saya beberapa tahun yang lalu. Cerita perjalanan saya ke desa itu bersama Bang Fathul yang kemudian saya angkat sebagai ide cerita dalam penulisan lomba film dokumenter di Eagle Award Documentary Competition. Saya mengangkat ide cerita tentang sepasang suami isteri yang berjuang membangun SD Filial di sebuah dusun di tengah hutan di Desa Tepal. Untuk menuju ke dusun itu, kita harus menyebrangi sungai, dan jalan kaki menembus hutan selama kurang lebih 2 jam dari Desa Tepal. Di sekolah itu hampir semua anak-anaknya jago bermain catur, bahkan ada yang pernah juara olimpiade di tingkat kabupaten. Tetapi sayangnya ide cerita saya gagal masuk dalam seleksi menuju 10 besar. Tak apalah, karena itu menjadi awal mula saya begitu tertarik di dunia film dokumenter dan dan pendidikan di Sumbawa.
Tak hanya Desa Tepal, ada banyak desa di atas Sumbawa yang masih jauh dari dunia luar. Dunia luar di sini maksudnya, akses jalannya masih kurang baik, transportasi kesana juga susah, terlebih lagi sinyal untuk internet pun tidak ada. Desa-desa tersebut berada di tengah hutan/ pegunungan Batulanteh, di Kecamatan Batulanteh, Sumbawa. Butuh waktu berjam-jam perjalanan untuk kita bisa tiba di sana. Apalagi jika sedang musim hujan, berangkat jam 8 pagi, baru bisa sampai jam 4 sore. Untuk menuju kesana tidak banyak transportasi yang bisa digunakan, hanya ada hartop dan motor. Hartop itu sejenis mobil khusus digunakan untuk medan offroad. Mobil itu juga sudah banyak modifikasi untuk bisa menjajal jalanan ke desa-desa tersebut. Selain hartop, kita juga bisa menggunakan motor. Motor yang digunakan di sini pun bukan sembarang motor, hanya motor trail, motor gigi yang telah dimodifikasi, dan motor win, yang bisa melewati jalanan di hutan Batulanteh ini. Jangan coba-coba menggunakan motor matic, karena bisa dipastikan motor tersebut akan kalah duluan sebelum berperang.
Pertama kali ke Desa Tepal, saya menggunakan motor gigi pinjaman dari seorang teman yang juga merupakan penduduk asli Tepal. Rasanya ingin menangis setiap melihat jalanannya yang 'aduhai' itu. Belum lagi ketika tiba di desanya, saya begitu kesusahan untuk bisa menghubungi Ibu Bapak di Sumbawa. Untuk bisa menelpon ke Sumbawa saja, kita harus naik ke bukit untuk mendapatkan sinyal telepon. Sudah kaki lelah karena perjalanan, ditambah lagi dengan harus mendaki untuk bisa menelpon. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Tetapi Alhamdulillah, sekarang di  Desa Tepal sudah ada sinyal telepon dan wifi di Kantor  Desa. Yah walaupun jalan menuju kesana masih jauh dari kata bagus, setidaknya mulai terlihat perbaikan demi perbaikan di sana.
Orang Sumbawa menyebut desa-desa kecil yang ada di tengah hutan Batulanteh itu dengan sebutan Desa Bao, atau dalam bahasa Sumbawa artinya Desa Atas. Mungkin maksudnya adalah karena letaknya yang berada jauh di atas Sumbawa, di atas gunung, di tengah hutan Batulanteh, makanya dinamakan Desa Atas. 
Tulisan perjalanan ke Desa Tepal beberapa tahun yang lalu. Dimuat di koran Lombok Post oleh Bang Fathul
Bulan Desember yang lalu, saya bersama Samawa Mengabdi, komunitas yang bergerak di bidang sosial pendidikan yang saya bangun di tahun 2017 bersama beberapa orang teman, melakukan perjalanan ke desa atas Sumbawa. Kali ini bukan Desa Tepal, tetapi Desa Tangkampulit. Jaraknya lebih jauh lagi dari Desa Tepal, harus melewati satu desa lagi setelah Desa Tepal untuk kita bisa tiba di sana. Jangan tanyakan bagaimana perjalanan kami menuju kesana, sungguh penuh perjuangan. Di sepanjang perjalanan jantung kami rasanya hendak keluar dari tempatnya, saking takutnya kami dengan medan yang kami lalui. Hartop yang kami sewa juga lebih sering membuat kami berjalan kaki daripada naik di atasnya. Medannya begitu 'aduhai' untuk kami tetap bisa berada di atas hartop. 
Harus ada yang naik di depan hartop sebagai pemberat, supaya hartopnya gak oleng pas jalan
Bahkan pakai motor trail pun masih susah lalui jalannya
Ketika hartopnya mogok di tengah jalan karena medan yang sulit
Hartopnya oleng kapten :)

Awalnya saya kira jalan menuju Desa Tepal adalah jalan yang paling parah yang ada di Sumbawa, ternyata ada yang lebih parah dari itu. Jalan menuju Desa Tepal belum ada apa-apanya dibanding jalan menuju Desa Tangkampulit. Perjuangannya berkali-kali lipat, sakitnya juga berkali-kali lipat. Jangan tanya berapa kali kami harus naik turun hartop, karena hartop yang kami naiki tak sanggup melewati medan perjalanan. Jangan tanya juga berapa kali kami harus menahan takut karena di samping kami ada jurang dengan posisi hartop yang mulai oleng karena turunan dan jalanan yang penuh batu. Di tambah lagi dengan nafas yang setengah-setengah, kaki sudah hampir terlepas dari persendiannya setiap berjuang naik dan turun tanjakan. Dan kita juga harus selalu kuat mendengar teriakan pak supir yang meminta kami lebih cepat berjalan. Kali ini kami memang dikejar waktu. Ada beberapa sungai yang harus diseberangi ketika menuju Desa Tangkampulit. Khawatir hujan besar dan air sungai meluap.
"Ayo ayo cepat, nanti hujan." Teriak Bapak Supir ketika kami masih harus berjibaku dengan tanjakan, dan tenaga kami yang mulai melemah. Beberapa teman perempuan yang ikut serta perjalanan ini terlihat mulai kelelahan. Saya pun begitu. Tapi mau mengeluh pun tidak bisa, karena kita pulalah yang secara sukarela memilih untuk turut serta dalam perjalanan ini. 
Sungai yang harus kami lalui
Istirahat di jalan
Istirahat, sholat, makan, di tengah hutan. 

"Alhamdulillah." Seru kami semua sambil menarik nafas panjang ketika berhasil naik di atas hartop lagi. Kalau kami sudah diperbolehkan naik hartop oleh Pak Supir, itu artinya medan yang akan kami lalui sudah lumayan bagus. Jangan bayangkan bagus di sini seperti jalan di desa pada umumnya yang sudah rata walau belum terkena aspal, jangan ya. Karena bagus di sini artinya jalannya sudah bisa dilalui hartop, walau di sampingnya masih ada jurang yang menemani, dan jalan penuh dengan bebatuan. Kalau dihitung-hitung, perjalanan dari Sumbawa sampai Desa Punik saja yang kami habiskan tanpa turun dari hartop, setelah itu kami lebih sering jalan kaki. 
Ini bukan pertama kalinya saya ke desa-desa atas di Sumbawa, tetapi entah kenapa saya tetap belum bisa terbiasa dengan keadaan jalannya. Saya masih saja takut ketika di atas hartop dan harus melewati tanjakan dengan jalan yang grandal-grundul, apalagi kalau di sampingnya ada jurang. Lengkap sudah ketakutannya. Khawatir kalau tangannya pak supir tiba-tiba kram, atau kakinya kepleset salah injak gas yang dikira rem, terus kita semua terjun berjamaah ke dalam jurang hutan Batulanteh. Membayangkannya saja, bulu kuduk saya langsung merinding.

Mantap kan jalannya :)

Tetapi setelah pengalaman yang sangat menantang adrenallin itu, saya belum kapok-kapok ke desa atas. Tanya kenapa? Saya juga tidak tahu. Seakan ada perasaan rindu yang membawa saya untuk bisa kesini, lagi dan lagi.
Seperti rumah yang selalu membuat rindu untuk pulang. Mungkin benar kata Pak Hartono, salah seorang warga Desa Tepal yang dulu rumahnya menjadi tempat saya menginap ketika pertama kali melakukan perjalanan ke desa di atas Sumbawa. 
"Lu hati-hati kamu, sekalinya kena air sini, kamu pasti mau kembali kesini lagi." 
Dan benar saja. Setelah pengalaman pertama ke Tepal di tahun 2015 yang lalu, setiap tahunnya saya selalu saja ingin kembali kesana, ke desa-desa di atas Sumbawa. Kesahajaan dan keramahan orang-orang di sana seakan menjadi magnet yang menarik hati untuk bisa kembali ke sana lagi.

Narsis tipis2 gaess.. Wkwkw ohya di belakang itu adalah salah satu perkampungan sebelum kt tiba di Desa Tangkampulit


Nb:
Ini cerita perjalanan ke Desa Tangkampulit di Desember 2019 yang lalu. Baru bisa dituliskan sekarang :)

11 komentar:

  1. Wagelaseh kak itu jalan apa jalan. Bertaruh nyawa banget kayaknya lewat jalanan itu. Ngerii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudahlah jangan ditanya lagi. Itu jalannya ngerinya ampun2an.. Untung bisa pulang ke rumah dgn selamat :)

      Hapus
  2. Wah kak keren banget. Tetap mengabdi sama tanah Sumbawa ya kak ✨

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya terimakasih ya atas dukungannya. Semoga kt ttp istiqomah dalam melakukan kegiatan2 lagi..
      :)

      Hapus
  3. asik bgt perjalanannya.. saya juga suka blusukan2 gini, jalannya menantang tapi seruu.. penasaran film dokumenternya, bisa diliat di mana ya??

    -traveler paruh waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Blusukan kayak gini memang menantang adrenalin banget ya bang..
      Yahh maaf bgt bang utk filmnya kt ga upload si youtube, ada dlm bentuk file gt..
      :(

      Hapus
  4. Masya Allah... Sungguh perjalanan mengabdi yang membuka banyak alasan untuk bersyukur dan lebih membuka mata terhadap masyarakat kita sendiri. Padahal ini baru cerita perjalanannya, tapi sudah sangat menginspirasi:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener.. Harus perbanyak syukur, kurangi mengeluh..


      Terimakasih ya sdh berkunjung, semoga kt tetap istoqomah dalam menginspirasi :)

      Hapus
  5. IONQQ menyediakan permainan poker, domino99, bandarq, bandarpoker,aduq,sakong,perang bacarat dan capsa :D
    ayo ditunggu apa lagi
    WA : +855 1537 3217

    BalasHapus
  6. Itu berasa jalan di sawah ya mas........mungkin mobil di sana 3 bulan sekali turun mesin ya hahahahahah. Tapi itu seru banget mas, pengalaman yang gak bisa didapatkan di kota

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mobilnya sudah tahan banting mas. Sudah biasa di jalan kayak gitu. Jalan ke desa itu bener2 menantang adrenallin banget hahahah

      Hapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^