Senin, 15 Juni 2020

Tumis Pakis, Cerita tentang Dapur, dan Pernikahan di Desa Tangkampulit

Ini kita yang lagi ngumpul di dapur, sambil masak dan menghangatkan diri.
Bisa baca tulisan perjalanan menuju desa ini di Perjalanan ke Desa Atas Sumbawa.

Tiba di Desa Tangkampulit pukul 17.15 Wita. Baju kami sudah tidak jelas warnanya seperti apa, sudah berhasil terkena basah air hujan, dan lumpur di jalan. Bau kopi hitam khas desa ini menyambut kedatangan kami. Lelah yang kami rasakan selama perjalanan perlahan mulai menghilang. Ditambah lagi dengan senyum warga yang menyambut kami. Aduh, manisnya. Kopi tanpa gula pun rasanya tak apa bagi saya, jika sambutannya sehangat dan semanis ini. 

Ibu yang lagi masak tumis pakis
Tumis daun pakis
Makan pake nasi hangat udah cukup

Di dapur, Ibu-ibu berjibaku menyiapkan hidangan makan malam untuk kami. Saya bisa mencium aroma masakan khas desa ini. Tumis pakis. Ini salah satu makanan di desa ini yang saya sukai. Pakis ini adalah sejenis tumbuhan paku-pakuan yang banyak tumbuh di tengah hutan Sumbawa. Warga Desa Tangkampulit atau Sumbawa umumnya biasa memasak tumbuhan ini dengan cara ditumis atau dibuat urap. Walaupun di Sumbawa juga banyak daun pakis, tetapi rasa daun pakis di sini berbeda.  Bumbu untuk memasaknya juga sangat sederhana, hanya tumis bawang merah, bawang putih dan tomat yang telah dipotong-potong, kemudian masukkan sedikit sira wir. Sudah cukup itu saja.
Ohya satu yang khas, orang-orang desa sini selalu memasukkan sira wir di dalam setiap masakannya. Sira wir itu adalah sambal khas warga desa di atas Sumbawa, yang terbuat dari garam, kemiri dan cabe yang ditumbuk halus. Sira dalam bahasa Indonesia artinya garam, sedangkan wir artinya gurih. Mereka biasanya membuat sambal ini dalam jumlah yang banyak dan bisa awet selama berbulan-bulan bahkan setahun. Setiap memasak, sira wir inilah yang menjadi bumbu andalan yang harus selalu ada. Rasanya siwa wir itu seperti apa? Rasanya asin, pedas, dan ada rasa gurih dari kemirinya: yang jika dimasukkan ke dalam setiap masakan, maka akan menghasilkan perpaduan rasa yang khas, yang membuat nafsu makan bertambah. 
Saya beberapa kali membawa pulang sira wir ini untuk dijadikan sebagai bumbu memasak di rumah, tetapi entah kenapa rasa masakan saya tidak pernah sama dengan masakan ibu-ibu di sana, padahal bumbu dan cara masaknya sama. Ada rasa yang susah dijelaskan. Ini sama seperti ketika kita masak masakan yang biasa dibuat Ibu, walaupun resep dan bahannya sama, tetapi rasanya tetap berbeda. Masakan Ibu selalu yang terbaik. Sama juga dengan ini. Tumis pakis buatan Ibu-ibu di desa ini yang terenak.
Tungku utk memasak

Dapur juga menjadi tempat paling hangat di sini. Duduk mengelilingi tungku, sambil meminum segelas kopi hitam khas desa ini adalah satu kenikmatan yang hakiki. Di dapur juga menjadi tempat paling asyik untuk kita bercengkrama. Jika di beberapa tempat di Indonesia, di dalam sistem patriarki, dapur dilambangkan sebagai tempat di mana wanita yang berkuasa, tetapi tidak di sini. Bapak-bapak, ibu-ibu, mau tua-muda, anak kecil, atau remaja, paling suka menghabiskan waktu di dapur. Kehangatan yang tercipta dari tungku dengan nyala dari kayu itu membuat betah duduk berlama-lama di dapur. Bercengkrama dan bercerita tentang apa saja memang paling asyik dilakukan di sini. Kehangatan dari segelas kopi dan obrolan-obrolan yang tercipta menjadi candu tersendiri. 
"Anak si Bapak A besok mau menikah." Kata si Ibu yang rumahnya kami tumpangi sebagai tempat menginap selama di sini. 
"Ohya? Di mana tempat nikahnya, Bu?"
"Di musholla samping itu si. Cuma akad nikah sama syukuran. Nanti kita datang ya." Ajak si Ibu.
Menurut cerita si Ibu, pernikahan di sini sederhana dan tidak merepotkan. Cukup melaksanakan akad nikah di musholla yang dihadiri oleh keluarga dekat saja, dan syukuran di rumah sebagai tanda bahwa telah dilangsungkannya pernikahan. Maka itu sudah cukup. Masakan-masakan yang disajikan juga dibuat dari bahan-bahan hasil urunan warga. Ada yang menyumbangkan kelapa, sayuran, beras, ayam, dan bahan-bahan lainnya. Semua warga bahu membahu membantu keluarga yang sedang melangsungkan pernikahan itu. Mahar pernikahannya juga sangat sederhana. Hanya uang tunai yang jumlahnya tidak begitu besar. 
Jangan bayangkan juga kalau pernikahan di sini ada acara semacam pesta besar dengan gaun pengantin mewah, atau dekorasi pernikahan yang menjadi impian para kaum hawa. Semuanya tak akan ditemukan di sini. Pengantin perempuan hanya menggunakan gamis biasa, dan pengantin laki-lakinya menggunakan kemeja dan sarung kain. 
Warga yang hadir ke syukuran pernikahannya di bagi menjadi dua sesi, pagi hari untuk kaum perempuan, siang hingga sore hari bagi kaum laki-laki. Sungguh pernikahan yang syar'i. Syariat-syariat islam dalam pernikahan diterapkan dengan baik. Tidak boleh memberatkan dalam hal mahar, tidak bermewah-mewahan dan mubazzir dalam acara, tidak ada campur baur antara laki-laki dan perempuan, dan juga tidak ada musik pengiring yang heboh. MasyaAllah
"Kalau jalannya sudah bagus saya mau ah nikah sama gadis sini." Celoteh salah seorang teman.
"Kalau jalannya sudah bagus, mungkin umurmu sudah gak lagi muda, dan gadis yang mau kamu nikahi sudah dipersunting laki-laki lain." Ucap saya yang kemudian mengundang gelak tawa yang lainnya. 
Acara syukuran pernikahan di Desa Tangkampulit

Bersambung.

10 komentar:

  1. Heeeee, saya agak kurang suka sayur sih, jadi ketika melihat tumis pakis, kok, nga begitu tertarik :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehhee.. Emang beda2 selera sih. Kalo sy memang pencinta sayur, jd suka2 saja makannya.. :)
      Btw terimakasih ya sdh berkunjung :)

      Hapus
  2. Tradisional sekali ya.. btw aku belum pernah sih coba sayur itu.. dan kalo di tempatku gak tau bisa dapat dimana ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tradisional banget emang ini daerah.
      Pakis itu kayak sejenis tumbuhan paku-pakuan, dia banyak tumbuh di tengah hutan yang hawanya dingin kak. Kalau mau petik ya harus masuk ke hutan2 gt. .hehehe

      Hapus
  3. Sebagai urang Sunda yang suka sayuran, saya mesti coba ini, tapi di sini susah cari yang pakis ga ada yang jual.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Soalnya jg sayuran ini banyak tumbuh di hutan2 yang berhawa dingin ga bisa dibudidaya gt, jd ya susah jg dapatnya :(

      Hapus
  4. pakis salah satu sayur kesukaanku, di Padang banyak juga :D ..

    acara nikahannya syar'i sekali yaa..

    -traveler paruh waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Samaa.. Sy juga paling suka ini sayur..hehehe

      Iya syar'i banget nikahannya bang. Sederhana tapi ga mengurangi esensi dari pernikahannya bang.

      Hapus
  5. Lihat tumis daun pakis kok sepertinya mirip masakan tumis kangkung ya mbak.

    Bagus juga sih pernikahan sederhana seperti itu, jadi tidak memberatkan dari segi biaya. Cukup akad nikah di mushola sama syukuran secukupnya di rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener. Cara masaknya sama kayak masak tumis kangkung. Potong2 cabe, bawang merah, bawang putih, garem, udah itu aja :)

      Iya. Pernikahannya bener2 sesederhana itu, tp ga mengurangi kehikmatannya kok :)

      Hapus

Tinggalkan jejak ya teman-teman, supaya saya bisa berkunjung kembali....
Salam persahabatan Blogger Indonesia ^_^